Fusilatnews – Tak ada yang lebih “murah hati” dari seorang presiden yang sedang haus tepuk tangan rakyatnya. Dan di era Jokowi, kemurahan hati itu bernama bantuan sosial alias bansos. Namun, ketika tirai panggung ditarik, apa yang tersisa hanyalah drama murahan pencitraan yang dibiayai uang rakyat—uang yang seharusnya menyelamatkan kaum miskin, bukan mengisi album foto politikus di baliho-baliho murahan.
Data terbaru yang diungkap Badan Komunikasi Pemerintah RI—ironisnya, dari lembaga resmi pemerintah sendiri—menunjukkan 45 persen bansos PKH dan sembako tidak tepat sasaran. Angka ini bukan sekadar salah hitung, melainkan salah kelola yang sistematis: Rp 14–17 triliun bansos melayang entah ke mana. Bukan cuma melayang, tapi justru mendarat di meja-meja keluarga yang sebenarnya tidak berhak.
Bayangkan, lebih dari 600 ribu keluarga penerima manfaat (KPM) PKH dan 1,2 juta KPM sembako yang semestinya tidak layak menerima, tetap saja dapat jatah. Dan rakyat kecil yang benar-benar lapar? Mereka hanya bisa menyaksikan drama ini lewat televisi: potret presiden tersenyum sambil mengangkat beras 5 kilogram seolah-olah dunia sedang baik-baik saja.
Bansos Jokowi tidak pernah sungguh-sungguh soal kemiskinan. Ia lebih sering berperan sebagai alat propaganda. Menjadi “pelengkap penderita” dalam safari politik kekuasaan. Rakyat miskin hanya dipanggil saat perlu difoto, lalu ditinggalkan dalam lingkaran penderitaan yang sama, bahkan lebih parah.
Dan lihatlah, betapa “efektif” bansos ini: lebih dari setengah juta penerima bansos tercatat bermain judi daring. Jadi, alih-alih mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan, bansos justru menjerumuskan sebagian ke dalam candu baru. Jika ini disebut keberhasilan, maka keberhasilan itu hanya milik para bandar judi yang kini mendapat “subsidi” tak resmi dari negara.
Ironisnya, setelah semua kegagalan ini, rezim Jokowi masih ingin menutupinya dengan jargon baru: digitalisasi bansos. Kata-kata manis bertebaran: transparansi, akuntabilitas, efisiensi. Luhut bahkan menjanjikan penghematan Rp 500 triliun. Tapi rakyat tentu tahu, setiap kali rezim ini bicara soal digitalisasi, ujungnya hanya ada dua kemungkinan: proyek raksasa penuh aroma rente atau sekadar ganti bungkus pencitraan.
Yang paling menggelikan, semua data tentang salah sasaran ini muncul di tahun-tahun menjelang Jokowi benar-benar lengser. Seakan-akan, rezimnya sendiri sedang sibuk mencuci tangan, melemparkan semua tanggung jawab ke penggantinya. Padahal, selama satu dekade, Jokowi-lah yang dengan penuh percaya diri menjadikan bansos sebagai senjata pamungkas legitimasi politiknya.
Kini, pertanyaan paling mendasar tetap menggantung:
Apakah bansos di era Jokowi pernah benar-benar dimaksudkan untuk menghapus kemiskinan, atau hanya sekadar menghapus citra buruknya sendiri?
Jika jawabannya yang kedua—dan semua tanda menunjuk ke arah itu—maka bansos Jokowi hanyalah monumen pencitraan. Monumen yang dibangun di atas punggung rakyat miskin, dengan biaya triliunan rupiah, untuk mengabadikan senyum seorang presiden yang lebih peduli pada sejarah dirinya ketimbang masa depan bangsanya.