Malika Dwi Ana
Di bawah langit kelabu Nusantara yang semakin pekat, kabut beracun merayap lebih dalam, membawa aroma asap blasting dari tambang-tambang nikel yang haus darah. Kekuatan gelap merayap di balik tabir. Voldemort, mantan tukang mebel licik, tersenyum tipis di balik topeng karet kesederhanaannya. Wajahnya yang penuh kerut dan tompel di pipi tak lagi menakutkan, tapi sorot matanya masih menyimpan ambisi yang membara. Ia bukan sekadar penguasa bayangan; ia adalah dalang yang menarik benang-benang kekuasaan, mengatur langkah demi langkah untuk memastikan tahtanya abadi, meski tak lagi duduk di singgasana istana negara. Bersama geng Solara—sekumpulan antek setia yang pandai menyamar sebagai pembela rakyat—Voldemort merancang skenario besar. Di depan umum, ia berbicara tentang stabilitas dan kesejahteraan, namun di ruang-ruang gelap, ia menyiapkan mantra-mantra manipulasi.
SDA nikel di Raja Ampat dan Morowali, dirampok habis-habisan oleh geng Solara dan kroni-kroninya, seolah-olah itu milik mbahnya, Lugut sang penyihir maritim yang haus harta, dan Titor si penjaga pulau yang menjual tanah air demi sepeser receh. “Nikel ini milikku,” semburnya, suaranya dingin seperti racun Potasium Sianida campur es susu soda gembira, sementara terumbu karang Raja Ampat hancur lebur, air keruh membawa penyakit, menelan mimpi nelayan, dan hilirisasi hanyalah topeng untuk menyuapi Cina dengan bijih curian senilai triliunan.
Bersama geng Solara—sekawanan serigala berbulu domba yang pandai menyamar sebagai pembela rakyat—Voldemort merajut jaring laba-laba yang mematikan, diperkuat proxy-proxy setia: Lisgo, sang kepala polisi yang menari di bawah Imperius Curse, menutup mata dari kerusakan lingkungan; Bahlul, si menteri investasi yang mengeluarkan izin tambang seperti permen, terkait PT Meta Mineral Pradana yang merobek Sulawesi Tenggara; Angga Tarto, koordinator ekonomi yang memutar roda oligarki; ErTho, kini turun pangkat jadi Menteri Pemuda dan Olahraga setelah reshuffle September 2025, tapi tetap jadi boneka untuk mengendalikan BUMN; dan ASubiyanto, panglima tentara yang mengawasi agar militer tak berani menggugat. Bahkan pulau-pulau suci seperti Komodo dan Kepulauan Widi dilelang ke investor asing, bukan dijual katanya, tapi Lugut dan Titor tahu: itu hanyalah mantra palsu untuk menyerahkan kedaulatan ke tangan kroni, eco-tourism yang mangkrak demi kantong pribadi.
Di depan khalayak, Voldemort melontarkan mantra-mantra tentang stabilitas dan persatuan, kata-kata manis yang membungkus niat busuk laksana glembuk berbisa. “Prabs dan Gibron Rakasiwi harus bertakhta lebih lama,” kilahnya pada para pengikutnya dalam ruang gelap penuh asap, “dan darahku, pewarisku, akan naik sebagai bayanganku!” Di balik senyumnya yang pura-pura tulus, tersembunyi rencana keji dan licik: mengorbankan Nusantara demi dinasti, sementara keluarganya berpesta pora. Iriana, sang permaisuri, dan menantu Erina Gudono flexing perhiasan berlian Rp3 miliar di pesta Oslo, anting 18K Gold Diamond senilai Rp430 juta berkilau di lehernya; Kaesang dan Selvi naik jet pribadi ke Amerika, koleksi Rolex Everose Gold tembus ratusan juta di pergelangan tangan, baju dan clutch berlian senada dengan gaun merah mewah—semua diungkap akun @cabinetcouture_idn yang viral September 2025, disaat rakyat kelaparan di tengah krisis ekonomi, inflasi menggerogoti roti sehari-hari, dan lapangan kerja lenyap di balik galian dan puing tambang.
Geng Solara bergerak bagai bayangan di malam tanpa bulan, ketegangan menumpuk seperti badai yang siap meledak. Ada Pratikno, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dua periode (2014–2019 dan 2019–2024) era Voldemort, Pratikno bertransformasi jadi otak strategis Voldemort. Pratikno adalah cermin kegelapan di balik “kesederhanaan” Voldemort—seorang profesor yang jatuh ke dalam jurang korupsi moral, simbol pelacuran intelektual, yang mengorbankan integritas demi dinasti. Ia juga rupanya sosok yang “menukangi” ijazah palsu terbitan pasar Pramuka itu, hingga seolah-olah asli.
Buzzer digital mereka, laksana pasukan Dementor yang haus jiwa, menyebar mantra pemujaan di dunia maya, menggonggong dan menghabisi siapa saja yang berani mengusik kebohongan mereka dengan cercah dan fitnah— sebarkanlah kebohongan terus-menerus sampai kebohongan itu dianggap sebagai kebenaran—prinsip propaganda Joseph Goebel yang mereka adaptasi untuk menghalalkan segala kebohongan demi kebohongan, bahkan akun pengkritik seperti Kunto Aji diserang habis-habisan. Survei bayaran, bagaikan Cawan Horcrux yang dipalsukan, digenggam erat untuk memutarbalikkan pikiran rakyat. Hukum telah lama lumpuh, dirasuki Imperius Curse yang membuat penegaknya menari mengikuti irama Voldemort. Undang-undang dicabik-cabik, dipahat ulang dengan darah kepentingan. Bahkan lembaga suci seperti KPU, Bawaslu, dan Mahkamah Konstitusi mulai terinfeksi, berderit di bawah tekanan cengkeraman geng Solara, siap menjadi boneka di tangan sang dalang, merekayasa Pilpres 2029 demi pewaris Oslo yang tak kompeten, dan tak lulus sekolah.
Di istana, Prabs duduk di singgasana, tampak gagah sebagai raja baru, namun bayang-bayang Voldemort dan geng Solara mengintai di setiap sudut, bagai ular yang siap mematok. Setiap keputusannya diarahkan, setiap langkahnya dijaga ketat oleh proxy-proxy itu, reshuffle kabinet September 2025 hanyalah trik untuk mengamankan posisi. “Dua periode yesss!” sorak para relawan girang, karena gak jadi gelandangan meskipun tuan mereka sudah lengser keprabon, mereka tetap dipekerjakan disaat angka pengangguran membludak. Suara mereka bergema dari tembok-tembok ratapan medsos seperti mantra kematian. “Prabs dan pewaris Oslo harus abadi!” Namun, di lorong-lorong gelap pasar dan gang-gang kumuh, rakyat mulai bergolak. Bisikan ketakutan bercampur kemarahan meledak: demonstrasi gig workers di depan parlemen, 17 September 2025, menuntut keadilan dari reshuffle yang menguntungkan elite; nelayan Raja Ampat menangis darah di puing terumbu; warganet membagikan foto flexing keluarga Voldemort, jeritan mereka: “Apakah negeri ini masih milik kita, atau telah jadi milik keluarga mereka yang jor-joran flexing saat kelaparan merongrong perut kami?”
Voldemort hanya terkekeh, tongkat sulingnya berputar di tangan, memancarkan kilau jahat yang kini ternoda darah nikel dan air mata rakyat. “Biar rakyat berteriak,” katanya pada geng Solara, suaranya dingin seperti pisau yang siap menusuk, “selama kita pegang tambang, pulau, proxy, dan tahta, mereka hanyalah debu di kakiku—dan 2029 akan jadi milikku selamanya.” katanya sambil meremas kodok piaraannya, “toeeettt!!” Namun, di kegelapan yang semakin pekat, secercah harapan muncul seperti kilat. Sekelompok pemberontak kecil, bermata tajam dan hati baja, mulai mengintai dari bayang-bayang—petisi anti-nepotisme mencapai Bareskrim, Jatam membongkar jaringan bisnis, akun-akun pengkritik warganet viral, laksana DPR pindah ke parlemen medsos. Mereka mencatat setiap mantra busuk, mengawasi setiap gerak KPU, Mahkamah, dan proxy-proxy itu, serta menyiapkan perangkap untuk membongkar kebohongan. Waktu semakin menipis, udara bergetar ketegangan yang bisa meledak kapan saja seperti kerusuhan di Nepal. Nusantara berdiri di ujung jurang yang lebih dalam: apakah ia akan jatuh ke dalam cengkeraman pemimpin culas Voldemort selamanya, atau akan bangkit dalam revolusi rakyat sebelum kegelapan menelan segalanya, meninggalkan dinasti busuk di reruntuhan(MDA)
*Ngawi, 19092025