Fusilatnews – Nama Zulkifli Hasan kembali mencuat. Bukan karena jabatan menterinya, bukan pula karena aktivitas politiknya, melainkan karena banjir bandang di Sumatera yang merenggut nyawa, menghancurkan kampung, dan meninggalkan luka ekologis mendalam. Dalam setiap tumpahan lumpur dan kayu gelondongan yang menghajar rumah-rumah warga, publik menemukan kembali jejak kebijakan masa lalu yang tak pernah benar-benar dipertanggungjawabkan.
Pada periode ia menjabat sebagai Menteri Kehutanan (2009–2014), Zulkifli Hasan tercatat sebagai pejabat yang mengobral izin konversi hutan terbesar dalam sejarah modern Indonesia, yakni mencapai 1,64 juta hektare. Angka ini, menurut laporan Greenomics Indonesia, adalah bagian dari total 2,4 juta hektare hutan yang dilepas menjadi perkebunan sawit sepanjang 2004–2017.
Kini, hampir satu dekade setelah periode jabatannya berakhir, dampak dari izin-izin itulah yang terhampar dalam bentuk banjir bandang, tanah longsor, dan runtuhnya sistem hidrologi di beberapa provinsi Sumatera.
Jejak Izin yang Tidak Pernah Hilang
Investigasi ini menelusuri jejak perizinan yang diterbitkan dalam tiga periode pemerintahan:
MS Kaban (2004–2009): 600 ribu hektare
Zulkifli Hasan (2009–2014): 1,64 juta hektare — terbesar
Siti Nurbaya (2014–sekarang): 216 ribu hektare
Dari tiga nama ini, kontribusi terbesar terhadap pelepasan kawasan hutan berada di tangan Zulkifli Hasan. Pada masa inilah konversi hutan mencapai puncaknya, terutama untuk ekspansi sawit skala industri yang saat itu sedang dimanjakan oleh tingginya harga minyak sawit mentah.
Yang lebih problematis: sebagian besar izin terbit di kawasan dengan risiko ekologis tinggi — hulu sungai, lereng curam, jalur patahan, dan zona resapan air.
Di provinsi-provinsi yang kini menjadi lokasi banjir bandang — termasuk Sumatera Barat, Riau, dan Aceh — konversi terjadi besar-besaran. Hutan alam yang dulu bertindak sebagai spons penahan air berubah menjadi bentang sawit yang seragam dan berakar dangkal.
Ketika hujan ekstrem datang, tanah tak lagi punya kekuatan untuk menahan limpasan air. Sungai-sungai berubah menjadi lorong percepatan banjir.
Banjir Bandang: Bencana yang Sudah Diprediksi
Para ahli hidrologi sejak 2010 sudah memperingatkan bahwa konversi hutan masif di Sumatera akan melahirkan “banjir kilat berskala besar”. Data curah hujan bukan variabel tunggal. Hutan-lah fondasi ekosistem yang mempertahankan keseimbangan.
Namun, alih-alih memperlambat pelepasan izin, kementerian justru mempercepatnya.
Di beberapa kabupaten, peta izin justru menunjukkan pola yang konsisten:
perusahaan yang memperoleh izin berada di tepi sungai besar, jalur aliran lahar, dan kawasan konservasi yang dilemahkan statusnya.
Ketika banjir bandang menghantam, yang terbawa bukan hanya lumpur dan kayu, tapi juga pertanyaan:
siapa yang dulu menandatangani semua izin ini?
Ketika Kebijakan Politik Mengalahkan Logika Ekologi
Dari penelusuran dokumen Kementerian Kehutanan, pelepasan kawasan hutan era Zulkifli Hasan banyak diberikan dalam konteks “percepatan ekonomi daerah”. Narasi ini kemudian menjadi justifikasi untuk melepas ratusan ribu hektare hutan primer dan sekunder.
Namun investigasi lapangan menunjukkan fakta lain:
banyak izin jatuh ke perusahaan yang memiliki hubungan politik dengan partai-partai yang berperan dalam koalisi pemerintahan saat itu.
Inilah yang membuat banjir bandang bukan sekadar bencana alam, tetapi bencana politik-ekologis.
Ketika pohon terakhir ditebang demi kepentingan politik, air pertama yang mengalir tidak lagi memberi kehidupan — tapi membawa kehancuran.
Dari Jakarta, Tanda Tangan; di Sumatera, Kuburan Massal
Di berbagai lokasi banjir bandang, reporter menemukan pola serupa:
Lereng yang gundul akibat izin kebun sawit.
Sungai yang berubah keruh dan dangkal karena sedimentasi berat.
Desa-desa yang berada tepat di bawah area konsesi perusahaan.
Tumpukan kayu besar yang bukan bagian dari hutan sekunder, melainkan limbah tebangan.
Sementara warga menggali sisa-sisa rumah mereka, para pejabat yang dulu menandatangani izin-izin itu kini sibuk tampil di televisi, menghadiri rapat nasional, atau bahkan mengurus agenda politik menghadapi Pemilu.
Mereka jarang — atau bahkan tidak pernah — hadir di lokasi banjir untuk menjelaskan bagaimana kebijakan mereka berkontribusi pada bencana hari ini.
Kesimpulan: Banjir Bandang Bukan Bencana Alam, Tapi Bencana Izin
Investigasi ini tidak berhenti pada angka luas izin. Ia menghubungkan titik-titik:
kebijakan masa lalu – ekspansi sawit – hilangnya hutan – kerentanan ekologis – banjir bandang.
Dan pada rantai sebab-akibat itu, nama Zulkifli Hasan berdiri di titik paling besar:
pemberi izin terbanyak, representasi paling jelas dari bagaimana kebijakan negara mengabaikan prinsip keberlanjutan.
Sumatera tidak kebanjiran tiba-tiba.
Ia dibanjiri oleh keputusan-keputusan politik yang sudah lama ditandatangani.
Air hanya menjadi pembawa pesan.


























