Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Mungkin sebagian masyarakat, terutama yang berada di luar disiplin ilmu hukum, akan bingung membaca judul tulisan ini. Mengapa persoalan hukum justru dikaji dari luar kacamata hukum?
Jawabannya sederhana. Jika dilihat murni dari logika hukum, ketika benar ada masalah terkait ijazah Gibran, tentu ia tak mungkin lolos menjadi pasangan Prabowo pada pemilu presiden 2024. Namun, faktanya berbeda.
Dari sudut pandang politik kekuasaan, gugatan soal keabsahan ijazah Gibran sejatinya sudah selesai sejak Jokowi menyampaikan “pesan politik” yang tegas dan eksplisit. Pesan itu ditujukan langsung kepada para petinggi yudikatif—Ketua Mahkamah Agung, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat—dan sekaligus ditujukan kepada publik. Isi pesan tersebut jelas:
Ketua Mahkamah Agung harus memastikan gugatan ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Presiden Prabowo wajib menjaga Gibran tetap menjabat Wapres hingga 2029.
Pasangan Prabowo–Gibran harus kembali maju di Pilpres 2029.
Pertanyaannya: apakah seorang Ketua Pengadilan Negeri berani menjatuhkan vonis yang mengabulkan gugatan terkait cacat hukum ijazah sebagai syarat pencalonan Gibran? Rasanya sulit.
Publik, karena itu, harus membacanya dengan kacamata politik realistis, bukan sekadar hukum normatif. Jika benar Indonesia tegak di atas konstitusi dan prinsip negara hukum, mestinya Gibran tak akan pernah sampai di posisi Wapres. Namun kenyataannya, hukum di negeri ini sudah lama lumpuh sejak 2014 akibat konspirasi politik.
Kini, hukum berada di bawah kendali politik kekuasaan (machstaat). Salah satu buktinya, Jokowi sudah sejak awal 2024 mengirim pesan politik prematur namun substansial: Prabowo dan Gibran harus berkuasa dua periode, 2024–2029 dan 2029–2034.
Dari perspektif hukum murni, perintah seperti itu jelas inkonstitusional. Tetapi bagi negara yang dikuasai oligarki, hal tersebut dianggap wajar.
Karena itu, sinyal keras dari Jokowi ini bisa dibaca sebagai penanda bahwa PN Jakarta Pusat akan menolak gugatan terkait keabsahan Gibran menjadi Wapres.
Namun, andai pesan politik ini keliru atau tak terbukti, jalan keluarnya tetap ada: kedaulatan ada di tangan rakyat, dan Tuhan adalah penentu terakhir.