Dalam dunia bisnis, terlebih pada produk atau jasa yang masuk kategori high involvement, keputusan pelanggan jarang ditentukan semata oleh kualitas teknis. Banyak faktor non-material yang turut bermain—mulai dari energi, karakter, hingga autentisitas penjualnya. Produk terbaik sekalipun bisa ditinggalkan jika wajah yang menawarkannya kehilangan daya magnet. Energi dan karakter seorang penjual sering kali menjadi pintu masuk utama untuk memenangkan hati pelanggan. Dari sini lahir sebuah prinsip sederhana namun mendasar: authenticity is the currency.
Jika prinsip ini kita tarik ke gelanggang politik Indonesia, sosok Gibran Rakabuming menjadi contoh yang menarik. Kehadirannya dalam politik, khususnya sebagai Wakil Presiden mendampingi Prabowo, lebih terlihat sebagai hasil patronase Jokowi ketimbang buah dari karakter atau energi pribadinya. Dalam hal ini, Gibran bukanlah “produk” politik yang hadir dengan autentisitas, melainkan “produk turunan” yang dipaketkan demi menjaga kesinambungan kekuasaan Jokowi.
Gibran seakan kehilangan ruang untuk menunjukkan dirinya sebagai figur otentik. Ia diposisikan sebagai bagian dari kalkulasi strategis, bukan sebagai aktor yang memancarkan energi dan karakter independen. Hasilnya, nilai jual politiknya menjadi rapuh. Ia tidak dibaca sebagai pemimpin dengan visi dan karakter, melainkan sekadar simbol perpanjangan tangan. Sebagaimana dalam pemasaran, produk yang tidak punya energi unik dan karakter khas akan sulit menguasai pasar, meski ditopang dengan modal iklan atau distribusi besar-besaran.
Politik, pada akhirnya, sama dengan pasar: orang tidak hanya membeli produk, tetapi juga membeli cerita dan energi di baliknya. Ketika Prabowo masih punya narasi perjalanan panjang dan energi perjuangan, Gibran hanya menempel pada legitimasi patronnya. Dalam kacamata publik, ia kehilangan “currency” yang paling penting dalam memenangkan hati rakyat: autentisitas.
Oleh karena itu, kehadiran Gibran dalam politik nasional lebih menyerupai “produk substitusi”—bukan pilihan utama yang dicari pelanggan, tetapi sesuatu yang dipaksakan masuk ke rak-rak pasar. Selama ia tidak menampilkan energi dan karakter yang mandiri, Gibran akan tetap menjadi figur politik tanpa nilai jual nyata. Dan seperti dalam dunia pemasaran, tanpa autentisitas, jangan berharap dapat menguasai pasar apalagi memenangkan hati “customer” bernama rakyat.
Good luck, Gibran. But remember: authenticity is the only true currency.