Fusilatnews – Pemerintah akhirnya mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Salah satu poin yang menonjol—dan menimbulkan perdebatan publik—adalah dilegalkannya praktik “umrah mandiri”. Sekilas, keputusan ini tampak sebagai langkah maju: negara memberi kebebasan bagi umat Islam untuk beribadah tanpa bergantung pada biro perjalanan. Namun, jika dibaca lebih cermat, undang-undang ini menyimpan ironi yang serius. Di balik wajah kebebasan itu, tersembunyi pasal-pasal yang bersifat diskriminatif.
Pasal 86 ayat (1) memberi tiga opsi bagi penyelenggaraan umrah: melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), secara mandiri, atau melalui Menteri. Artinya, jemaah kini bisa berangkat umrah tanpa harus menggunakan jasa biro. Di atas kertas, ini tampak progresif—negara menghormati hak warga untuk memilih jalannya sendiri. Tapi perhatikan pasal 96 ayat (5), di mana diskriminasi itu mulai tampak jelas.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jemaah dan petugas umrah mendapatkan perlindungan, seperti layanan akomodasi, konsumsi, transportasi, serta perlindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan—kecuali jemaah umrah mandiri. Kata “kecuali” inilah yang menjadi titik diskriminatif. Negara seolah menarik diri dari tanggung jawabnya hanya karena seorang warga memilih jalur pribadi dalam menjalankan ibadahnya.
Pertanyaannya sederhana: bukankah setiap warga negara, tanpa kecuali, berhak atas perlindungan hukum dan keselamatan jiwa? Mengapa perlindungan itu menjadi hak eksklusif bagi mereka yang menggunakan jasa biro, sementara yang memilih beribadah secara mandiri justru ditinggalkan tanpa payung perlindungan negara? Ini bukan soal pilihan teknis penyelenggaraan, tapi soal keadilan dan kesetaraan di depan hukum.
Pasal ini secara tidak langsung menciptakan kelas sosial dalam pelaksanaan ibadah: ada “jemaah resmi” yang dilindungi, dan “jemaah mandiri” yang dibiarkan menanggung risiko sendiri. Negara boleh beralasan bahwa jemaah mandiri harus bertanggung jawab atas pilihannya, tetapi itu tidak membenarkan pelepasan total terhadap tanggung jawab konstitusional untuk melindungi warganya. Prinsip dasar negara hukum adalah melindungi setiap individu, bukan hanya mereka yang mengikuti jalur administratif tertentu.
Lebih jauh, penegasan bahwa jemaah mandiri tidak mendapat perlindungan kesehatan dan keselamatan memperlihatkan sikap negara yang kontradiktif terhadap semangat pelayanan publik. Negara hadir untuk memastikan warganya aman dalam menjalankan ibadah, bukan sekadar menjadi pengatur teknis. Apalagi, perjalanan umrah bukan wisata biasa. Ia menyangkut ibadah yang sakral, dan melibatkan perjalanan lintas negara yang rawan risiko kesehatan, keamanan, dan bahkan kematian.
UU ini pada akhirnya menampilkan wajah negara yang tebang pilih. Ia memperlihatkan bahwa bahkan dalam urusan ibadah, perlindungan bisa menjadi hak yang bersyarat—bergantung pada siapa yang mengatur perjalanan Anda. Ini bukan sekadar masalah hukum administratif, tapi persoalan moral negara. Masa undang-undang boleh diskriminatif terhadap warganya sendiri?
Kita bisa memahami jika pemerintah ingin menertibkan penyelenggaraan umrah agar tidak terjadi penipuan seperti kasus biro-biro umrah abal-abal di masa lalu. Namun, logika pengawasan tidak boleh bergeser menjadi logika pengecualian hak. Negara seharusnya memperkuat mekanisme perlindungan, bukan menghapusnya. Karena tanpa perlindungan, “umrah mandiri” berubah menjadi “umrah tanpa negara”.
Diskriminasi dalam bentuk apa pun—apalagi yang dilegalkan oleh undang-undang—adalah kemunduran bagi demokrasi dan prinsip kesetaraan warga negara. Jika perlindungan jiwa dan keselamatan hanya diberikan kepada sebagian, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 bukanlah produk keadilan, melainkan simbol ketimpangan yang dilegalkan. Masa undang-undang boleh diskriminatif? Tidak seharusnya. Negara seharusnya menjadi pelindung, bukan pemilah.























