Jakarta, Fusilatnews – Setelah enam lembaga nasional hak asasi manusia (LNHAM), yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komite Nasional Disabilitas (KND), dan Ombudsman RI membentuk Tim Independen Pencari Fakta peristiwa unjuk rasa dan kerusuhan Agustus-September 2025, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Huukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menganggap tidak penting pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Namun, Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi berpandangan sebaliknya. Menurut dia, pembentukan TGPF oleh Presiden Prabowo Subianto akan memiliki otoritas sekaligus daya tagih publik yang lebih kuat.
“Jangan mendustai fakta bahwa hasil investigasi dan penyelidikan dari organ-organ yang tidak berangkat dari kehendak politik (political will) dan otoritas Presiden, cenderung diabaikan oleh negara dan Presiden sebagai kepala begara. Dengan legitimasi otoritatif yang kuat, kepala negara bisa mendorong TGPF untuk membuka tabir ‘huru-hara Agustus’ seterang-terangnya,” kata Hendardi di Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Di sisi lain, kata Hendardi, publik juga bisa menagih kepala negara untuk menjamin hak publik untuk tahu (right to know), hak publik untuk memastikan peristiwa serupa tidak berulang (principle of non-repetition), dan pemberian hukuman yang memberikan efek jera bagi para dalang dan pelaku intelektual di balik huru-hara,” jelasnya.
Itu yang pertama. Kedua, kata Hendardi, bukti-bukti permulaan mengenai dalang, pola operasi, dan aktor-aktor lapangan yang terlatih sudah sangat terang-benderang untuk menyatakan bahwa “huru-hara akhir Agustus” merupakan sebuah peristiwa luar biasa (extra ordinary).
“Jangan mendustai fakta-fakta permulaan tersebut bahwa huru-hara yang mengorbankan nyawa warga negara, merusak fasilitas umum, merugikan kepentingan bersama, dan menjarah properti individu diduga dilakukan oleh orang-orang terlatih, diorganisasi dan dimobilisasi untuk kepentingan dan agenda terselubung tertentu,” tegasnya.
TGPF, kata Hendardi, merupakan wahana yang tepat untuk mengungkap peristiwa seterang-terangnya dan lembaga-lembaga HAM nasional bisa menjadi bagian di dalam TGPF tersebut.
Ketiga, lanjut Hendardi, pembentukan TGPF akan menyampaikan pesan kepada seluruh pihak dan terutama seluruh rakyat bahwa negara hadir untuk mewujudkan tujuan pemerintahan negara.
“Pemerintah jangan mendustai amanat Pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintahan negara bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Keengganan Presiden untuk membentuk TGPF menggambarkan lemahnya politik negara untuk melindungi warganya dengan mengorbankan mereka menjadi objek dari agenda dan kepentingan terselubung pihak-pihak tertentu,” paparnya.
Keempat, masih kata Hendardi, TGPF akan mengklirkan begitu banyak kesimpangsiuran dan menempatkan Presiden berada dalam posisi netral di tengah kompleksitas relasi aparatur negara pada sektor keamanan.
“Keengganan Presiden untuk membentuk TGPF justru memperpanjang kesimpangsiuran dan berdiri tidak netral dalam kompleksitas relasi TNI-Polri. Antusiasme Presiden untuk membentuk Komisi Reformasi Kepolisian dan sama sekali tidak antusias membentuk TGPF justru menunjukkan bahwa Presiden tidak netral sebagai kepala negara, melindungi ‘kelompok terlatih’ dalam ‘huru-hara Agustus’ dan memuluskan agenda-agenda militerisasi di sektor-sektor sipil, termasuk sektor keamanan,” sesalnya.
Kelima, kata Hendardi lagi, pernyataan Yusril yang berubah-ubah mengenai TGPF patut dipersoalkan oleh publik, apakah pernyataan itu merepresentasikan sikap politik resmi Presiden sebagai kepala negara, atau pernyataan pribadi yang di ruang publik berusaha untuk mengarahkan sikap Presiden. Yusril sebaiknya menahan diri untuk tidak memberikan pernyataan politik yang tidak konsisten mengenai urgensi pembentukan TGPF,” tandasnya.