Oleh: Malika Dwi Ana
Skandal ijazah Gibran Rakabuming Raka adalah puncak gunung es dari kebobrokan politik Indonesia. Sidang di PN Jakarta Pusat (perkara 583/Pdt.G/2025) bisa saja membongkar fakta menyakitkan: Gibran cuma tamatan SD, dengan UTS Insearch yang bukan SMA dan Orchid Park yang cuma setara SMP. Tapi jangan harap KPU, dalang busuk di balik layar, bakal diseret ke meja hijau. Mereka penutup botol yang menjaga kebohongan konstitusional, bersembunyi di balik “privasi capres” ala Peraturan Nomor 731/2025—tameng pengecut untuk melindungi dinasti Jokowi. Ijazah Gibran, dari SMA yang meragukan hingga S1 MDIS yang melanggar Permendikbudristek No. 50 Tahun 2020, adalah bukti nyata KPU adalah jongos kekuasaan. Tanpa membersihkan akar busuk ini, kebohongan akan terus bertunas, bagai cendawan di musim hujan. Dan partai-partai politik? Sekadar pemandu sorak, rela jual nurani demi kursi. KPU dan koalisi KIM Plus adalah sutradara yang menjadikan politik Indonesia panggung sirkus hukum, dengan Jokowi dan Gibran sebagai bintang sinetronnya.
Gugatan Rp125 triliun oleh Subhan di PN Jakarta Pusat bikin publik muak. Roy Suryo, dengan bukti digitalnya, membongkar kabut pendidikan Gibran: UTS Insearch cuma kursus matrikulasi, bukan SMA—jauh dari setara SMK kelas XII. Sedang Orchid Park Secondary School? Setara SMP dengan bonus satu tahun, cuma ngeluarin GCE O-Level atau N-Level yang tak layak disebut ijazah SMA. Kalau nilai Gibran di bawah 50, itu bahkan bukan SMP versi Indonesia! Klaim lulus SMPN 1 Solo? Omong kosong, Gibran sendiri ngaku kabur ke Singapura. Gelar S1 MDIS? Batal demi hukum tanpa ijazah SMA—pendidikan bukan sulap, tapi KPU main sulap. Dengan muka tembok, KPU bilang: “Dokumen capres aman, privasi terjaga!” Privasi apa? Ini cuma jubah untuk nutupi kebohongan yang bikin rakyat muntah. Forum Purnawirawan TNI, meski tiga kali menuntut pemakzulan sejak Mei 2025, tak berani sentuh KPU. Kenapa? Karena tembok konstitusi dan 7/8 kursi DPR di tangan koalisi KIM Plus jadi benteng baja bagi KPU.
KPU: Mesin Kebohongan Dinasti
KPU adalah biang keladi. Mereka membiarkan Gibran lolos verifikasi capres 2024, meski putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023—yang melonggarkan syarat usia—akibat bau nepotisme busuk dari Anwar Usman, paman Gibran. KPU tutup mata soal ijazah, tak peduli apakah UTS Insearch atau Orchid Park memenuhi syarat. Permendikbudristek No. 50 Tahun 2020 jelas: cuma “school leaving certificate” resmi seperti High School Certificate atau IB Diploma yang diakui. Dan Gibran? Nol besar. GCE O-Level dari Orchid Park, kalau pun ada, tak setara SMA tanpa A-Level—apalagi kalau nilainya ampas. Tapi KPU, dengan congkaknya, melegalisasi dokumen Gibran tanpa berpikir. Mahfud MD bilang pemakzulan punya dasar kuat: nepotisme MK, kapasitas kosong, akun Fufufafa, hingga korupsi dinasti. Tapi di KPU? Lolos bagai hantu. Koalisi KIM Plus dengan 580 kursi DPR dan ancaman Jokowi—“sentuh anakku, kucabut dukungan”—membuat KPU kebal hukum.
Sirkus Hukum Dinasti Jokowi
Skandal ijazah Gibran bukan soal kertas, tapi cermin kebobrokan sistem. KPU, yang seharusnya menjaga demokrasi, malah jadi kacung dinasti Jokowi. Tanpa keberanian merobohkan benteng KPU dan koalisi KIM Plus, drama ini akan terus berputar, seperti sinetron murahan yang tak pernah tamat. Rakyat di segenap medsos berteriak, tapi suara mereka bagai debu di tengah badai. Selama KPU dan antek-anteknya berkuasa, hukum Indonesia cuma jadi sirkus: penuh topeng, tipu daya, dan sorak sorai para badut politik.(MDA)
TerasMalawu, 21092025