Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Perihal ijazah S-1 Jokowi dari Fakultas Kehutanan UGM — apakah asli atau palsu — ibarat bom waktu. Kenapa demikian? Karena keberadaan selembar ijazah itu telah menjadi Sengketa Besar antara ratusan juta warga negara Indonesia versus sosok yang pernah menduduki kursi Presiden RI, Joko Widodo. Implikasinya bisa menjelma menjadi berbagai macam delik yang menggerus integritas politik sekaligus hukum di negeri ini.
Sebagian publik hingga kini masih meragukan keaslian ijazah tersebut. Fakta keraguan itu terbukti ketika pada 2023, PN Jakarta Pusat menerima gugatan yang diajukan oleh Bambang Tri Mulyono (penulis Jokowi Undercover) bersama M. Hatta Taliwang, M. Taufik Bahauddin, Muslim Arbi, dan Rizal Fadillah. Gugatan itu disusun dengan konsep hukum yang saya rancang atas mandat TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis), dengan dasar Pasal 1365 BW tentang onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melawan hukum oleh penguasa).
Tak berhenti di pengadilan, TPUA juga melangkah ke jalur pidana dengan laporan resmi ke Dumas Mabes Polri pada 9 Desember 2024 terkait dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Jokowi.
Selanjutnya, TPUA merancang agenda investigasi ke UGM (15 April 2025) dan ke kediaman Jokowi (16 April 2025). Namun klarifikasi di UGM akhirnya dilakukan oleh Dr. Roy Suryo dan tim, yang mendapat konfirmasi dari pihak kampus bahwa ijazah itu “asli dan fisiknya berada pada Jokowi”. Anehnya, ketika TPUA menemui langsung Jokowi sehari kemudian, ia menolak memperlihatkan ijazah tersebut dengan alasan: “Nanti di pengadilan.”
Pertanyaan besar pun muncul: jika memang asli, mengapa enggan ditunjukkan?
Kronologi berikutnya justru semakin membingungkan. Laporan hukum berlanjut, Jokowi dan kelompok pendukungnya melaporkan balik, hingga lahirlah 12 terlapor dari kalangan TPUA dan Roy Cs. Kini, informasi A1 menyebut bahwa ijazah asli sudah disita Polresta Surakarta dan kini berada di Mabes Polri.
Sebagai pengamat, saya meyakini penyidik Polri pasti sudah melakukan uji digital forensik. Namun, hingga lebih dari sebulan hasilnya belum diumumkan. Logika sederhana: andai ijazah itu asli, tentu publikasi hasil uji sudah diumumkan, dan para terlapor sudah dijadikan tersangka. Justru diamnya aparat memperkuat dugaan: ada sesuatu yang tidak beres.
Di sinilah letak bom waktu itu. Ijazah S-1 Jokowi bukan sekadar dokumen akademik, melainkan remote control politik yang kini berada di genggaman kekuasaan. Kapan pun bisa “diledakkan”, dengan efek yang dapat mencabik-cabik fakta integritas Jokowi dan sekaligus mengguncang stabilitas politik nasional.
Pertanyaan seriusnya: apakah kekacauan politik belakangan ini merupakan efek dari bom waktu itu? Apakah penyitaan ijazah ini sengaja dipelihara sebagai senjata tawar-menawar antar elit, semacam win-win solution pragmatis, namun dengan ongkos sosial yang ditanggung rakyat kecil?
Jika benar penegakan hukum hanya dijadikan instrumen kompromi politik di lingkar kekuasaan, maka tragedi yang menimpa rakyat — dari aksi brutal 25, 28, dan 29 Agustus hingga awal September 2025 — hanyalah pengorbanan sia-sia. Rakyat jadi korban, sementara elit terus bermain dengan detonator bom waktu yang mereka genggam.