Oleh: Radhar Tribaskoro
Kita sering diceritakan bahwa memindahkan ibu kota adalah tentang masa depan: kota hutan yang canggih, pemerintah yang efisien, dan simbol baru kebangsaan. Gambar-gambar rapi itu menggoda—jalan lebar, gedung kaca, dan janji-janji hijau yang memantulkan cahaya di perairan Nusantara. Namun ada yang kerap menghilang dari bingkai: siapa yang membayar ongkosnya, bukan hanya dalam lembar-lembar APBN, tetapi juga dalam detik-detik hidup masyarakat yang semakin jauh dari pusat keputusan.
Pemindahan ibu kota ke IKN telah lama dihitung dengan kalkulator fiskal. Tetapi politik, administrasi, dan hidup sehari-hari tak pernah rapi seperti akuntansi. Mereka berjalan dengan gesekan, friksi, dan “biaya siluman” yang tak tercatat. Biaya sistemik—itulah nama yang pantas untuk beban yang tersebar tipis, menghilang dalam kabar baik, namun nyata terasa seperti debu yang menumpuk di paru-paru.
Mari mulai dari yang paling sederhana: jarak. Di negara kepulauan, jarak tak hanya panjang, tetapi juga berair. Jakarta—kota terbesar di pulau yang memiliki separuh lebih penduduk negeri—memungkinkan sebagian besar warga, pelaku usaha, akademisi, jurnalis, dan aktivis mengakses pemerintah tanpa menyeberang lautan. Ada kereta, bus, jalan tol, rapat murah yang bisa ditempuh dengan tiket kelas ekonomi yang masuk akal.
Begitu ibu kota dipindah ke jantung Kalimantan, kalkulus akses berubah. Mayoritas penduduk—yang tinggal di Jawa—kini harus menyeberangi laut dengan pesawat atau kapal. Biaya tiket melonjak, frekuensi penerbangan terbatas, dan perjalanan tak lagi spontan. Apa yang dulu cukup ditempuh dengan bus malam atau kereta murah, kini memerlukan itinerary, anggaran, dan tekad. Biaya transaksi naik: waktu hilang, uang keluar, energi terkuras. Itu bukan saja beban negara yang membayar dinas ribuan pejabat; itu juga beban warga dan usaha kecil yang ingin mengurus izin, memperjuangkan hak, atau sekadar bertemu pejabat yang mengubah nasib perizinan mereka.
Dari sini lahir dua lapis beban: beban fiskal dan beban sosial. Beban fiskal relatif mudah dibayangkan—gedung-gedung dibangun, hunian ASN, jalan-jalan, bendungan, dan jaringan utilitas. Pada masa transisi, biaya ganda tak terelakkan: Jakarta tak bisa langsung ditutup, sementara IKN harus dinyalakan. Maka negara membiayai dua mesin sekaligus—dual-administration—dengan semua ongkos listrik, pemeliharaan, sewa, dan SDM yang menyertainya.
Sedangkan beban sosial lebih licin untuk dipegang. Ia berupa terbatasnya akses ke pengambil keputusan; mahalnya partisipasi politik karena demonstrasi tak lagi mudah; menipisnya kanal koreksi karena “jarak” kini bukan metafora, melainkan harga tiket. Ketika berurusan dengan negara menjadi semakin mahal dan jauh, demokrasi kehilangan satu unsur dasarnya: kedekatan—baik secara fisik maupun simbolik.
Di sinilah kita bertemu dengan fenomena yang kerap tak disukai oleh poster-poster promosi sebuah proyek besar: dual-politics. Politik formal berlangsung di IKN—rapat kabinet, pidato, peraturan, tanda tangan. Tetapi politik nyata—lobi bisnis, jaringan media, konsolidasi partai, gerak masyarakat sipil—tetap berdenyut di Jakarta, kota yang telah lama menjadi simpul ekonomi, informasi, dan pergaulan dunia.
Bukan hanya Indonesia. Malaysia melakukannya lebih dulu: memindahkan administrasi ke Putrajaya, namun Kuala Lumpur tetap menjadi panggung politik dan opini publik. Putrajaya rapi dan hijau, tetapi sering disebut “kota tanpa jiwa”; pemerintah di sana, rakyat di sini. Australia pun begitu: Canberra dibangun netral di pedalaman, tetapi Sydney dan Melbourne memegang ekonomi, media, universitas besar, dan urat nadi wacana. Amerika Serikat memisahkan Washington D.C.—pusat pemerintahan—dari New York, panggung finansial dan media dunia. Brasil membangun Brasília yang monumental, namun Rio dan São Paulo tetap mengatur napas politik jalanan. Nigeria memindahkan ibu kota ke Abuja, tetapi Lagos tak pernah benar-benar melepaskan pengaruh.
Hampir semua menunjukkan pola yang sama: ibu kota formal dipindah, ibu kota fungsional bertahan. Namun Indonesia menambahkan variabel yang tak ringan: laut. Kuala Lumpur–Putrajaya hanya 25 kilometer; Sydney–Canberra sekitar 300; Philadelphia–Washington 220. Mereka bisa saling menyapa lewat jalan raya. Jakarta–IKN dipisahkan ratusan kilometer yang berair: tidak ada kereta malam yang menyambungkan aksi mahasiswa dengan sidang kabinet keesokan harinya. Jarak itu bukan angkutan; ia adalah barrier.
Konsekuensinya, dual-administration dan dual-politics di Indonesia berpeluang menjadi lebih ekstrem. Dual-administration: kementerian dan lembaga tetap memelihara unit layanan di Jakarta untuk melayani dunia usaha, LSM, asosiasi profesi, dan komunitas riset—lahirlah kantor-kantor bayangan. Tanda tangan final mungkin terjadi di IKN, tetapi proses awal berlangsung di Jakarta, tempat orang-orang berkumpul karena biaya lebih rendah dan jaringan lebih rapat. Negara membayar dua sewa; rakyat membayar dua kali ongkos.
Dual-politics: keputusan formal diumumkan di IKN, namun legitimasi—yang rapuh dan perlu dipelihara—ditentukan oleh resonansi publik di Jakarta. Di situlah media, universitas, dan organisasi warga menimbang kebijakan. Jika keduanya—keputusan dan legitimasi—berjalan di rel yang tak terhubung, politik kita menjadi bergaung: suara pemerintah memantul di gedung-gedung baru, sementara gema penerimaan atau penolakan datang dari kota lama yang tetap sibuk dan skeptis.
Ada pula dimensi ekonomi mikro yang jarang dihitung: biaya koordinasi. Konsultan, notaris, firma hukum, peneliti kebijakan, dan organisasi masyarakat sipil akan mencari titik temu termurah. Dengan IKN jauh dan mahal, Jakarta akan bertahan sebagai pasar ide dan data. Seminar kebijakan, diskusi, dan advokasi akan terus berlangsung di sana karena fasilitas dan jaringan sudah terkumpul puluhan tahun. Maka paradoks pun muncul: negeri membangun kota untuk memusatkan keputusan, tetapi pabrik gagasan—yang memasok alasan dan kritik bagi keputusan—tetap beroperasi di kota lain.
Ini bukan sekadar romantika metropolitan. Negara modern hidup dari pertukaran informasi. Ketika pengambil keputusan berada jauh dari sumber wacana dan koreksi, risiko kesalahan kebijakan meningkat. Pemerintah menjadi lingkaran yang semakin tertutup, rapi dan disiplin seperti kampus yang terkurung pagar, namun miskin kebisingan yang sehat—kebisingan yang selama ini datang dari kritik, tanya, dan cemooh yang membuat kekuasaan berkeringat.
Sisi lain yang jarang dibahas adalah keadilan spasial. Para pendukung IKN berkata: “Selama ini Jawa sentris; kini saatnya Indonesia.” Tetapi pemerataan bukanlah memindahkan pusat jauh dari mayoritas penduduk, melainkan mendekatkan layanan kepada yang jauh. Ketika biaya perjalanan ke pusat naik bagi lebih banyak orang, ketidaksetaraan akses justru bertambah. Masyarakat Kalimantan memang menjadi lebih dekat secara fisik; namun masyarakat Jawa—yang padat dan sebagian besar berpenghasilan menengah-bawah—harus membayar lebih mahal untuk layanan yang dulunya terjangkau. Pemerataan semu: beban berpindah, bukan akses terbuka.
Lalu bagaimana negara lain mengelola paradoks ini? Mereka, pada umumnya, menyerah pada realitas ganda. Washington menerima bahwa Wall Street dan PBB di New York tak akan pindah. Canberra berdamai dengan fakta bahwa produksi wacana nasional sering lahir dari Sydney–Melbourne. Brasília belajar bahwa seni “kota yang mendengar” tetap menuntut telinga di Rio–São Paulo. Abuja birokrasinya berjalan, tetapi Lagos adalah denyut. Kota lama tak mati—ia beranak: melahirkan kantor perwakilan, satelit kebijakan, dan jaringan informal yang tetap menentukan.
Bedanya, di negara-negara itu jarak darat membuat biaya dualisme lebih murah. Truk, bus, kereta dapat menjahit relasi. Di Indonesia, jahitan itu harus terbang. Biayanya berkali lipat, dan ia ditanggung bukan hanya negara, tapi orang-orang yang tak tercatat namanya: guru dari Yogyakarta yang hendak mengurus hibah, aktivis dari Makassar yang ingin audiensi, pelaku UMKM dari Solo yang butuh pertemuan dengan pejabat pusat. Demokrasi, yang idealnya murah dan dekat, perlahan menjadi mahal dan jauh.
Ada pula risiko kebakaran menular dari dualisme ini: inflasi kebijakan. Ketika dua kota berebut relevansi, sinergi sering dikalahkan simbol. Jakarta ingin menunjukkan ia tetap penting; IKN ingin membuktikan ia bukan etalase. Lahir dorongan ganda untuk meluncurkan program, proyek peresmian, dan seremoni yang makan anggaran dan atensi. Negara sibuk mengatur “tata panggung”, sementara rakyat membutuhkan tata kelola.
Di bawahnya, ASN terbelah. Sebagian pindah, sebagian tinggal, sebagian “bolak-balik”. Kompetensi menyebar tak rata, koordinasi melelahkan. Anak-anak perlu sekolah, pasangan butuh pekerjaan, orang tua memerlukan perawatan. Hidup sipil menuntut logistik yang tidak tertulis di buku rencana. Di meja rapat, ini disebut “tantangan SDM”. Di rumah, ini adalah biaya hidup—tak jarang diselipkan ke dalam kebijakan tunjangan yang, sekali lagi, dibayar bersama.
Lalu apa yang semestinya kita minta dari sebuah pemindahan ibu kota, agar tak berubah menjadi pengasingan? Barangkali jawabannya bukan menolak masa depan, melainkan membentuknya dengan sadar. Jika negara memilih IKN, maka konsistensi logika harus dijaga:
Pertama, one-stop state: layanan inti harus dapat diakses secara digital penuh, dengan standar waktu dan transparansi yang bisa diawasi publik. Bukan laman hiasan yang berujung “datang ke loket”. Digitalisasi bukan plakat; ia adalah janji biaya transaksi yang turun.
Kedua, representasi fisik di Jakarta yang diatur tegas. Jika dual-administration tak terhindarkan, buatlah satu kanal resmi—bukan puluhan kantor bayangan—dengan kewenangan jelas untuk proses awal dan media konsultasi. Minimalkan labirin; hilangkan “biaya ganda” yang lahir dari kebingungan.
Ketiga, jembatan sosial: perkuat pusat wacana di IKN dengan universitas, media, dan forum warga yang benar-benar hidup, bukan sekadar gedung aula. Pemerintah yang jauh dari kritik akan dekat dengan kekeliruan.
Keempat, subsidi akses bagi kelompok warga yang perlu berinteraksi langsung—aktivis, peneliti, UMKM, serikat pekerja—agar demokrasi tak hanya bisa dibeli oleh yang mampu terbang. Partisipasi yang mahal adalah penyensoran yang halus.
Kelima, pengakuan jujur bahwa Jakarta tetap pusat fungsional. Daripada menyangkal, lebih baik merancang relasi: kalender koordinasi reguler, protokol lintas-kota, dan indikator yang mengukur bukan kemegahan, tetapi efektivitas layanan serta biaya yang turun per interaksi warga-negara.
Pada akhirnya, ibu kota adalah soal kedekatan: seberapa dekat negara dengan warganya, seberapa cepat keputusan memahami realitas, seberapa rendah biaya untuk didengar. Kota bisa dipindahkan; kepercayaan tidak. Ia mesti diraih setiap hari, dalam hal-hal kecil yang tak pernah masuk siaran pers: izin yang selesai tepat waktu, keberatan yang ditanggapi, protes yang boleh mendekat, pejabat yang bersedia mendengar.
IKN mungkin akan berdiri megah, menyala di malam yang gelap, seperti janji yang ditulis dengan huruf neon. Jakarta akan tetap ramai, berisik, letih, dan tak pernah tidur. Dan di antara keduanya, ada rakyat: mengukur ongkos yang tak seluruhnya ditulis dalam anggaran, tetapi terasa di saku, di jarak, dan di suara yang semakin pelan karena harga untuk didengar makin mahal.
Kita boleh bermimpi tentang ibu kota di masa depan. Tapi mimpi yang tak mau melihat biaya sistemik hanyalah poster tanpa belakang. Negara yang bijak bukan yang paling cepat memindahkan gedung, melainkan yang paling tekun mendekatkan layanan—agar ketika kota berpindah, beban tidak ikut bertambah. Di situlah ukuran keberhasilan itu: bukan setinggi apa menara, melainkan sedekat apa negara—di mana pun ia berkantor—dengan warga yang membiayainya.
Bagi Presiden Prabowo, IKN adalah sandera. Projek ini diwariskan dan diamanatkan oleh Jokowi untuk dilanjutkan. Namun biaya pembangunan sangat tinggi. Lebih dari itu biaya operasionalnya tidak terkirakan karena bersifat sistemik. Kerumitan akan muncul karena dualisme tidak terhindarkan antara kota simbolik (IKN) dan kota real (Jakarta). Kantor-kantor bayangan akan tumbuh dan biaya operasi ganda (dual-administration) tidak terhindarkan. Kerumitan itu tidak berhenti karena dual-politics akan mengikuti. Presiden akan tersandera (wajib tinggal dan bekerja di ibukota) sementara politik berdenyut di Jakarta (Jawa). Presiden akan terasing dan terpenjarakan.
Dengan semua biaya dan kompleksitas itu tidak ada alasan melanjutkan projek IKN itu. Sebaiknya IKN dijadikan monumen saja. Monumen kedunguan elit politik negeri ini yang telah mendukung orang tanpa kompetensi menjadi pemimpin tertinggi.===
Bekasi, 20 September 2025