• Login
ADVERTISEMENT
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content
No Result
View All Result
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content
No Result
View All Result
Fusilat News
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home Feature

IKN: SANDERA DAN PENGASINGAN PRABOWO

fusilat by fusilat
September 20, 2025
in Feature, Tokoh/Figur
0
Jokowi Puji Prabowo  Karena Meningktanya Elektabilitas  Gerindra dan Dirinya
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Radhar Tribaskoro

Kita sering diceritakan bahwa memindahkan ibu kota adalah tentang masa depan: kota hutan yang canggih, pemerintah yang efisien, dan simbol baru kebangsaan. Gambar-gambar rapi itu menggoda—jalan lebar, gedung kaca, dan janji-janji hijau yang memantulkan cahaya di perairan Nusantara. Namun ada yang kerap menghilang dari bingkai: siapa yang membayar ongkosnya, bukan hanya dalam lembar-lembar APBN, tetapi juga dalam detik-detik hidup masyarakat yang semakin jauh dari pusat keputusan.

Pemindahan ibu kota ke IKN telah lama dihitung dengan kalkulator fiskal. Tetapi politik, administrasi, dan hidup sehari-hari tak pernah rapi seperti akuntansi. Mereka berjalan dengan gesekan, friksi, dan “biaya siluman” yang tak tercatat. Biaya sistemik—itulah nama yang pantas untuk beban yang tersebar tipis, menghilang dalam kabar baik, namun nyata terasa seperti debu yang menumpuk di paru-paru.

Mari mulai dari yang paling sederhana: jarak. Di negara kepulauan, jarak tak hanya panjang, tetapi juga berair. Jakarta—kota terbesar di pulau yang memiliki separuh lebih penduduk negeri—memungkinkan sebagian besar warga, pelaku usaha, akademisi, jurnalis, dan aktivis mengakses pemerintah tanpa menyeberang lautan. Ada kereta, bus, jalan tol, rapat murah yang bisa ditempuh dengan tiket kelas ekonomi yang masuk akal.

Begitu ibu kota dipindah ke jantung Kalimantan, kalkulus akses berubah. Mayoritas penduduk—yang tinggal di Jawa—kini harus menyeberangi laut dengan pesawat atau kapal. Biaya tiket melonjak, frekuensi penerbangan terbatas, dan perjalanan tak lagi spontan. Apa yang dulu cukup ditempuh dengan bus malam atau kereta murah, kini memerlukan itinerary, anggaran, dan tekad. Biaya transaksi naik: waktu hilang, uang keluar, energi terkuras. Itu bukan saja beban negara yang membayar dinas ribuan pejabat; itu juga beban warga dan usaha kecil yang ingin mengurus izin, memperjuangkan hak, atau sekadar bertemu pejabat yang mengubah nasib perizinan mereka.

Dari sini lahir dua lapis beban: beban fiskal dan beban sosial. Beban fiskal relatif mudah dibayangkan—gedung-gedung dibangun, hunian ASN, jalan-jalan, bendungan, dan jaringan utilitas. Pada masa transisi, biaya ganda tak terelakkan: Jakarta tak bisa langsung ditutup, sementara IKN harus dinyalakan. Maka negara membiayai dua mesin sekaligus—dual-administration—dengan semua ongkos listrik, pemeliharaan, sewa, dan SDM yang menyertainya.

Sedangkan beban sosial lebih licin untuk dipegang. Ia berupa terbatasnya akses ke pengambil keputusan; mahalnya partisipasi politik karena demonstrasi tak lagi mudah; menipisnya kanal koreksi karena “jarak” kini bukan metafora, melainkan harga tiket. Ketika berurusan dengan negara menjadi semakin mahal dan jauh, demokrasi kehilangan satu unsur dasarnya: kedekatan—baik secara fisik maupun simbolik.

Di sinilah kita bertemu dengan fenomena yang kerap tak disukai oleh poster-poster promosi sebuah proyek besar: dual-politics. Politik formal berlangsung di IKN—rapat kabinet, pidato, peraturan, tanda tangan. Tetapi politik nyata—lobi bisnis, jaringan media, konsolidasi partai, gerak masyarakat sipil—tetap berdenyut di Jakarta, kota yang telah lama menjadi simpul ekonomi, informasi, dan pergaulan dunia.

Bukan hanya Indonesia. Malaysia melakukannya lebih dulu: memindahkan administrasi ke Putrajaya, namun Kuala Lumpur tetap menjadi panggung politik dan opini publik. Putrajaya rapi dan hijau, tetapi sering disebut “kota tanpa jiwa”; pemerintah di sana, rakyat di sini. Australia pun begitu: Canberra dibangun netral di pedalaman, tetapi Sydney dan Melbourne memegang ekonomi, media, universitas besar, dan urat nadi wacana. Amerika Serikat memisahkan Washington D.C.—pusat pemerintahan—dari New York, panggung finansial dan media dunia. Brasil membangun Brasília yang monumental, namun Rio dan São Paulo tetap mengatur napas politik jalanan. Nigeria memindahkan ibu kota ke Abuja, tetapi Lagos tak pernah benar-benar melepaskan pengaruh.

Hampir semua menunjukkan pola yang sama: ibu kota formal dipindah, ibu kota fungsional bertahan. Namun Indonesia menambahkan variabel yang tak ringan: laut. Kuala Lumpur–Putrajaya hanya 25 kilometer; Sydney–Canberra sekitar 300; Philadelphia–Washington 220. Mereka bisa saling menyapa lewat jalan raya. Jakarta–IKN dipisahkan ratusan kilometer yang berair: tidak ada kereta malam yang menyambungkan aksi mahasiswa dengan sidang kabinet keesokan harinya. Jarak itu bukan angkutan; ia adalah barrier.

Konsekuensinya, dual-administration dan dual-politics di Indonesia berpeluang menjadi lebih ekstrem. Dual-administration: kementerian dan lembaga tetap memelihara unit layanan di Jakarta untuk melayani dunia usaha, LSM, asosiasi profesi, dan komunitas riset—lahirlah kantor-kantor bayangan. Tanda tangan final mungkin terjadi di IKN, tetapi proses awal berlangsung di Jakarta, tempat orang-orang berkumpul karena biaya lebih rendah dan jaringan lebih rapat. Negara membayar dua sewa; rakyat membayar dua kali ongkos.

Dual-politics: keputusan formal diumumkan di IKN, namun legitimasi—yang rapuh dan perlu dipelihara—ditentukan oleh resonansi publik di Jakarta. Di situlah media, universitas, dan organisasi warga menimbang kebijakan. Jika keduanya—keputusan dan legitimasi—berjalan di rel yang tak terhubung, politik kita menjadi bergaung: suara pemerintah memantul di gedung-gedung baru, sementara gema penerimaan atau penolakan datang dari kota lama yang tetap sibuk dan skeptis.

Ada pula dimensi ekonomi mikro yang jarang dihitung: biaya koordinasi. Konsultan, notaris, firma hukum, peneliti kebijakan, dan organisasi masyarakat sipil akan mencari titik temu termurah. Dengan IKN jauh dan mahal, Jakarta akan bertahan sebagai pasar ide dan data. Seminar kebijakan, diskusi, dan advokasi akan terus berlangsung di sana karena fasilitas dan jaringan sudah terkumpul puluhan tahun. Maka paradoks pun muncul: negeri membangun kota untuk memusatkan keputusan, tetapi pabrik gagasan—yang memasok alasan dan kritik bagi keputusan—tetap beroperasi di kota lain.

Ini bukan sekadar romantika metropolitan. Negara modern hidup dari pertukaran informasi. Ketika pengambil keputusan berada jauh dari sumber wacana dan koreksi, risiko kesalahan kebijakan meningkat. Pemerintah menjadi lingkaran yang semakin tertutup, rapi dan disiplin seperti kampus yang terkurung pagar, namun miskin kebisingan yang sehat—kebisingan yang selama ini datang dari kritik, tanya, dan cemooh yang membuat kekuasaan berkeringat.

Sisi lain yang jarang dibahas adalah keadilan spasial. Para pendukung IKN berkata: “Selama ini Jawa sentris; kini saatnya Indonesia.” Tetapi pemerataan bukanlah memindahkan pusat jauh dari mayoritas penduduk, melainkan mendekatkan layanan kepada yang jauh. Ketika biaya perjalanan ke pusat naik bagi lebih banyak orang, ketidaksetaraan akses justru bertambah. Masyarakat Kalimantan memang menjadi lebih dekat secara fisik; namun masyarakat Jawa—yang padat dan sebagian besar berpenghasilan menengah-bawah—harus membayar lebih mahal untuk layanan yang dulunya terjangkau. Pemerataan semu: beban berpindah, bukan akses terbuka.

Lalu bagaimana negara lain mengelola paradoks ini? Mereka, pada umumnya, menyerah pada realitas ganda. Washington menerima bahwa Wall Street dan PBB di New York tak akan pindah. Canberra berdamai dengan fakta bahwa produksi wacana nasional sering lahir dari Sydney–Melbourne. Brasília belajar bahwa seni “kota yang mendengar” tetap menuntut telinga di Rio–São Paulo. Abuja birokrasinya berjalan, tetapi Lagos adalah denyut. Kota lama tak mati—ia beranak: melahirkan kantor perwakilan, satelit kebijakan, dan jaringan informal yang tetap menentukan.

Bedanya, di negara-negara itu jarak darat membuat biaya dualisme lebih murah. Truk, bus, kereta dapat menjahit relasi. Di Indonesia, jahitan itu harus terbang. Biayanya berkali lipat, dan ia ditanggung bukan hanya negara, tapi orang-orang yang tak tercatat namanya: guru dari Yogyakarta yang hendak mengurus hibah, aktivis dari Makassar yang ingin audiensi, pelaku UMKM dari Solo yang butuh pertemuan dengan pejabat pusat. Demokrasi, yang idealnya murah dan dekat, perlahan menjadi mahal dan jauh.

Ada pula risiko kebakaran menular dari dualisme ini: inflasi kebijakan. Ketika dua kota berebut relevansi, sinergi sering dikalahkan simbol. Jakarta ingin menunjukkan ia tetap penting; IKN ingin membuktikan ia bukan etalase. Lahir dorongan ganda untuk meluncurkan program, proyek peresmian, dan seremoni yang makan anggaran dan atensi. Negara sibuk mengatur “tata panggung”, sementara rakyat membutuhkan tata kelola.

Di bawahnya, ASN terbelah. Sebagian pindah, sebagian tinggal, sebagian “bolak-balik”. Kompetensi menyebar tak rata, koordinasi melelahkan. Anak-anak perlu sekolah, pasangan butuh pekerjaan, orang tua memerlukan perawatan. Hidup sipil menuntut logistik yang tidak tertulis di buku rencana. Di meja rapat, ini disebut “tantangan SDM”. Di rumah, ini adalah biaya hidup—tak jarang diselipkan ke dalam kebijakan tunjangan yang, sekali lagi, dibayar bersama.

Lalu apa yang semestinya kita minta dari sebuah pemindahan ibu kota, agar tak berubah menjadi pengasingan? Barangkali jawabannya bukan menolak masa depan, melainkan membentuknya dengan sadar. Jika negara memilih IKN, maka konsistensi logika harus dijaga:

Pertama, one-stop state: layanan inti harus dapat diakses secara digital penuh, dengan standar waktu dan transparansi yang bisa diawasi publik. Bukan laman hiasan yang berujung “datang ke loket”. Digitalisasi bukan plakat; ia adalah janji biaya transaksi yang turun.

Kedua, representasi fisik di Jakarta yang diatur tegas. Jika dual-administration tak terhindarkan, buatlah satu kanal resmi—bukan puluhan kantor bayangan—dengan kewenangan jelas untuk proses awal dan media konsultasi. Minimalkan labirin; hilangkan “biaya ganda” yang lahir dari kebingungan.

Ketiga, jembatan sosial: perkuat pusat wacana di IKN dengan universitas, media, dan forum warga yang benar-benar hidup, bukan sekadar gedung aula. Pemerintah yang jauh dari kritik akan dekat dengan kekeliruan.

Keempat, subsidi akses bagi kelompok warga yang perlu berinteraksi langsung—aktivis, peneliti, UMKM, serikat pekerja—agar demokrasi tak hanya bisa dibeli oleh yang mampu terbang. Partisipasi yang mahal adalah penyensoran yang halus.

Kelima, pengakuan jujur bahwa Jakarta tetap pusat fungsional. Daripada menyangkal, lebih baik merancang relasi: kalender koordinasi reguler, protokol lintas-kota, dan indikator yang mengukur bukan kemegahan, tetapi efektivitas layanan serta biaya yang turun per interaksi warga-negara.

Pada akhirnya, ibu kota adalah soal kedekatan: seberapa dekat negara dengan warganya, seberapa cepat keputusan memahami realitas, seberapa rendah biaya untuk didengar. Kota bisa dipindahkan; kepercayaan tidak. Ia mesti diraih setiap hari, dalam hal-hal kecil yang tak pernah masuk siaran pers: izin yang selesai tepat waktu, keberatan yang ditanggapi, protes yang boleh mendekat, pejabat yang bersedia mendengar.

IKN mungkin akan berdiri megah, menyala di malam yang gelap, seperti janji yang ditulis dengan huruf neon. Jakarta akan tetap ramai, berisik, letih, dan tak pernah tidur. Dan di antara keduanya, ada rakyat: mengukur ongkos yang tak seluruhnya ditulis dalam anggaran, tetapi terasa di saku, di jarak, dan di suara yang semakin pelan karena harga untuk didengar makin mahal.

Kita boleh bermimpi tentang ibu kota di masa depan. Tapi mimpi yang tak mau melihat biaya sistemik hanyalah poster tanpa belakang. Negara yang bijak bukan yang paling cepat memindahkan gedung, melainkan yang paling tekun mendekatkan layanan—agar ketika kota berpindah, beban tidak ikut bertambah. Di situlah ukuran keberhasilan itu: bukan setinggi apa menara, melainkan sedekat apa negara—di mana pun ia berkantor—dengan warga yang membiayainya.

Bagi Presiden Prabowo, IKN adalah sandera. Projek ini diwariskan dan diamanatkan oleh Jokowi untuk dilanjutkan. Namun biaya pembangunan sangat tinggi. Lebih dari itu biaya operasionalnya tidak terkirakan karena bersifat sistemik. Kerumitan akan muncul karena dualisme tidak terhindarkan antara kota simbolik (IKN) dan kota real (Jakarta). Kantor-kantor bayangan akan tumbuh dan biaya operasi ganda (dual-administration) tidak terhindarkan. Kerumitan itu tidak berhenti karena dual-politics akan mengikuti. Presiden akan tersandera (wajib tinggal dan bekerja di ibukota) sementara politik berdenyut di Jakarta (Jawa). Presiden akan terasing dan terpenjarakan.

Dengan semua biaya dan kompleksitas itu tidak ada alasan melanjutkan projek IKN itu. Sebaiknya IKN dijadikan monumen saja. Monumen kedunguan elit politik negeri ini yang telah mendukung orang tanpa kompetensi menjadi pemimpin tertinggi.===

Bekasi, 20 September 2025

Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.

Unsubscribe
ADVERTISEMENT
Previous Post

Saatnya Bahlil Dituntut Mundur

Next Post

RESET GLOBAL DAN BENCANA ALAM: HANGRERESIK INGKANG BUWANA

fusilat

fusilat

Related Posts

Politik Medsos, “Gemoy,” dan Jebakan Rot Brain
Aya Aya Wae

Republik dalam ICU: Kok Bisa Kita Bilang Baik-Baik Saja?

September 22, 2025
Jokowi Dukung 2 Periode Prabowo Gibran – Ambisi yang Digerakkan oleh Rasa Cemas
Feature

Sehina-hina Jokowi “Ujub Politik” Mendahului Qodarullah

September 22, 2025
Pupuk Bersubsidi: Menjamin Kemakmuran Petani atau Menjerat Ketergantungan?
Economy

Pupuk Bersubsidi: Menjamin Kemakmuran Petani atau Menjerat Ketergantungan?

September 22, 2025
Next Post

RESET GLOBAL DAN BENCANA ALAM: HANGRERESIK INGKANG BUWANA

Pemerintah Tetapkan Libur Nasional Tahun 2026 – Lebih Lama

Pemerintah Tetapkan Libur Nasional Tahun 2026 - Lebih Lama

Notifikasi Berita

Subscribe

STAY CONNECTED

ADVERTISEMENT

Reporters' Tweets

Pojok KSP

  • All
  • Pojok KSP
Yusril Ihza Mahendra Dipanggil ke Istana, Bahas Apa?
Birokrasi

Pernyataan Yusril Batal Bentuk TGPF Melawan Kehendak dan Suara Rakyat

by Karyudi Sutajah Putra
September 21, 2025
0

Jakarta, Fusilatnews - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra tentang batalnya pembentukan Tim Gabungan...

Read more
Militer Jaga Fasilitas Umum: Bandingkan dengan AS, Berbahaya dan Keliru

Militer Jaga Fasilitas Umum: Bandingkan dengan AS, Berbahaya dan Keliru

September 20, 2025
Yusril : Gugatan AMIN dan Ganjar Terlambat, Kini Gugatan Melawan MK, Bukan KPU

Hendardi: Pernyataan Yusril Soal TGPF, Sikap Pribadi atau Pemerintah?

September 19, 2025
Prev Next
ADVERTISEMENT
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Pernyataan WAPRES Gibran Menjadi Bahan Tertawaan Para Ahli Pendidikan.

Pernyataan WAPRES Gibran Menjadi Bahan Tertawaan Para Ahli Pendidikan.

November 16, 2024
Zalimnya Nadiem Makarim

Zalimnya Nadiem Makarim

February 3, 2025
Beranikah Prabowo Melawan Aguan?

Akhirnya Pagar Laut Itu Tak Bertuan

January 29, 2025
Borok Puan dan Pramono Meletup Lagi – Kasus E-KTP

Borok Puan dan Pramono Meletup Lagi – Kasus E-KTP

January 6, 2025
Copot Kapuspenkum Kejagung!

Copot Kapuspenkum Kejagung!

March 13, 2025
Setelah Beberapa Bulan Bungkam, FIFA Akhirnya Keluarkan Laporan Resmi Terkait Rumput JIS

Setelah Beberapa Bulan Bungkam, FIFA Akhirnya Keluarkan Laporan Resmi Terkait Rumput JIS

May 19, 2024
Salim Said: Kita Punya Presiden KKN-nya Terang-terangan

Salim Said: Kita Punya Presiden KKN-nya Terang-terangan

24
Rahasia Istana Itu Dibuka  Zulkifli Hasan

Rahasia Istana Itu Dibuka  Zulkifli Hasan

18
Regime Ini Kehilangan Pengunci Moral (Energi Ketuhanan) – “ Pemimpin itu Tak Berbohong”

Regime Ini Kehilangan Pengunci Moral (Energi Ketuhanan) – “ Pemimpin itu Tak Berbohong”

8
Menguliti : Kekayaan Gibran dan Kaesang

Menguliti : Kekayaan Gibran dan Kaesang

7
Kemana Demonstrasi dan Protes Mahasiswa Atas Kenaikan BBM Bermuara?

Kemana Demonstrasi dan Protes Mahasiswa Atas Kenaikan BBM Bermuara?

4
Kemenag Bantah Isu Kongkalikong Atur 1 Ramadan

Kemenag Bantah Isu Kongkalikong Atur 1 Ramadan

4
Politik Medsos, “Gemoy,” dan Jebakan Rot Brain

Republik dalam ICU: Kok Bisa Kita Bilang Baik-Baik Saja?

September 22, 2025
Jebakan Politik : Jokowi “Plonga-plongo” Jangan Sampai Terulang pada Gibran

Negara Ini “Sedang Sakit”: Bukan Sedang “Tidak Baik-Baik Saja”

September 22, 2025
Jokowi Dukung 2 Periode Prabowo Gibran – Ambisi yang Digerakkan oleh Rasa Cemas

Sehina-hina Jokowi “Ujub Politik” Mendahului Qodarullah

September 22, 2025
Pupuk Bersubsidi: Menjamin Kemakmuran Petani atau Menjerat Ketergantungan?

Pupuk Bersubsidi: Menjamin Kemakmuran Petani atau Menjerat Ketergantungan?

September 22, 2025
Jokowi, Mesin Kemenangan Prabowo

Bansos Era Jokowi : 45 Persen Tidak Tepat Sasaran, Setara Rp 14-17 Triliun

September 22, 2025
Di Bawah Bayang Machstaat: Kenapa Gugatan terhadap Gibran Pasti Ditolak

Di Bawah Bayang Machstaat: Kenapa Gugatan terhadap Gibran Pasti Ditolak

September 21, 2025

Group Link

ADVERTISEMENT
Fusilat News

To Inform [ Berita-Pendidikan-Hiburan] dan To Warn [ Public Watchdog]. Proximity, Timely, Akurasi dan Needed.

Follow Us

About Us

  • About Us

Recent News

Politik Medsos, “Gemoy,” dan Jebakan Rot Brain

Republik dalam ICU: Kok Bisa Kita Bilang Baik-Baik Saja?

September 22, 2025
Jebakan Politik : Jokowi “Plonga-plongo” Jangan Sampai Terulang pada Gibran

Negara Ini “Sedang Sakit”: Bukan Sedang “Tidak Baik-Baik Saja”

September 22, 2025

Berantas Kezaliman

Sedeqahkan sedikit Rizki Anda Untuk Memberantas Korupsi, Penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakadilan Yang Tumbuh Subur

BCA No 233 146 5587

© 2021 Fusilat News - Impartial News and Warning

No Result
View All Result
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content

© 2021 Fusilat News - Impartial News and Warning

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

 

Loading Comments...