Fusilatnews – Janji tinggal janji. Megawati Soekarnoputri pernah bersumpah akan menuntaskan kemiskinan ekstrem di Indonesia sebelum 2024. Kini tahun telah berganti, presiden telah berganti, tetapi kemiskinan tetap tinggal. Warisan Jokowi kepada penerusnya, Prabowo Subianto, bukanlah ekonomi kuat atau fondasi keadilan sosial, melainkan 3,17 juta penduduk yang masih hidup dalam jerat kemiskinan ekstrem—setara 1,13 persen dari populasi nasional.
Angka itu mungkin tampak kecil dalam statistik, tetapi di baliknya adalah wajah-wajah renta yang tak pernah merasakan subsidi gizi, anak-anak yang tumbuh tanpa buku dan mimpi, hingga keluarga yang menggantungkan hidup pada nasi aking dan impian yang kian kabur.
Janji yang Diulang, Realita yang Daur Ulang
Apa yang ditawarkan Prabowo hari ini sesungguhnya adalah repetisi dari narasi yang sudah tak asing di telinga publik. Presiden ketujuh RI, Joko Widodo, sepanjang dua periode kepemimpinannya, menjadikan narasi pengentasan kemiskinan sebagai jargon tahunan dalam setiap pidato kenegaraan. Namun, proyek-proyek mercusuar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tampaknya lebih mendapat perhatian serius dibanding nasib warga yang hidup di bawah Rp 600.000 per bulan.
Sementara kemiskinan ekstrem menjadi bahasan elit saban konferensi pers, kontribusi besar terhadap garis kemiskinan justru datang dari hal-hal yang luput disentuh kebijakan: rokok kretek filter, misalnya, menjadi penyumbang terbesar kedua dalam struktur konsumsi rumah tangga miskin. Artinya, negara gagal memahami prioritas pengeluaran warganya dan membiarkan masalah struktural berjalan sebagai status quo.
Mentalitas, atau Kebijakan yang Cacat?
Agus Jabo Priyono, Wakil Menteri Sosial yang baru, mengatakan bahwa masalah kemiskinan tak hanya bersumber pada ekonomi, tapi juga pada mentalitas. Ini bukan pernyataan baru. Retorika yang menyiratkan “salah rakyat sendiri” kerap digunakan ketika negara tak mampu menyusun strategi intervensi yang efektif. Padahal, studi-studi pembangunan dari Bank Dunia hingga lembaga sosial domestik berkali-kali menegaskan: kemiskinan bukanlah pilihan pribadi, melainkan akibat sistem yang timpang, layanan publik yang lemah, dan peluang ekonomi yang menyusut.
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang penghapusan kemiskinan ekstrem adalah sinyal positif, tetapi tak lebih dari itu: sinyal. Selama program intervensi hanya berupa bantuan langsung tunai atau subsidi jangka pendek tanpa perbaikan pendidikan, layanan kesehatan, dan akses kerja layak, maka angka 3,17 juta itu hanya akan berganti nama, bukan musnah.
Negara Gagal Mendidik Kemandirian
Agus menyinggung bahwa bantuan sosial selama ini belum menyentuh akar masalah: produktivitas. Narasi pemberdayaan ekonomi memang seksi untuk dipresentasikan dalam forum-forum nasional, tetapi realitanya jauh lebih kompleks. Memberikan bantuan usaha bukan hanya soal modal. Ini soal pendampingan, soal pasar yang harus dibuka, soal regulasi yang harus dirombak, dan mental birokrasi yang harus dibersihkan dari korupsi.
Ironisnya, ketika angka kemiskinan tetap stagnan, anggaran untuk sektor-sektor elite malah naik. Upacara Kemerdekaan di IKN, misalnya, dibanderol Rp 87 miliar. Di saat yang sama, satu keluarga miskin hanya mendapat subsidi Rp 500 ribu—itu pun belum tentu tepat sasaran. Maka menjadi masuk akal bila masyarakat kian sinis, bertanya: negara ini sebenarnya ingin memuliakan rakyat miskin atau menjadikan mereka komoditas politik?
Membebaskan dari Statistik
Jika ingin serius menuntaskan kemiskinan ekstrem, Prabowo tak bisa hanya berpidato dengan nada gagah. Ia harus memulainya dari kejujuran terhadap warisan pemerintahan sebelumnya: bahwa kegagalan menuntaskan kemiskinan adalah kegagalan politik dan kebijakan, bukan semata soal data dan anggaran.
Dengan 24 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dan lebih dari 3 juta di antaranya hidup dalam kemiskinan ekstrem, misi menghapus kemiskinan bukan sekadar proyek dua tahun, apalagi proyek warisan. Ia adalah pertarungan panjang melawan kesenjangan, pengangguran, dan sistem yang lebih mementingkan legitimasi politik dibanding keadilan sosial.
Karena di negara yang katanya makmur ini, warisan terbesar bukanlah pembangunan infrastruktur atau lonceng ibu kota baru, tapi derita yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


























