Fusilatnews – Isu Taiwan kembali menjadi barometer rapuhnya stabilitas Asia-Pasifik. Kali ini, bukan hanya Washington dan Beijing yang bersitegang, tetapi Tokyo—yang selama puluhan tahun berusaha menjauh dari citra militerisme—mendadak berada di garis depan polemik. Pemicunya: sebuah pernyataan di parlemen Jepang yang menyebut kemungkinan pengerahan militer jika China menyerang Taiwan.
11 November 2025 – Suara yang Menggema dari Parlemen Tokyo
Dalam sidang parlemen, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menyinggung skenario konflik Selat Taiwan. Ia menyatakan bahwa serangan China ke Taiwan bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup Jepang, dan Tokyo berpotensi mempertimbangkan pengerahan kekuatan militer sebagai respons. Pernyataan ini bukan sekadar analisis geopolitik, tetapi isyarat kebijakan keamanan yang belum pernah diucapkan seterang itu oleh pemimpin Jepang sebelumnya.
12–13 November 2025 – Beijing Meradang
Kementerian Luar Negeri Tiongkok merespons dengan keras. Beijing menuduh pernyataan itu sebagai campur tangan terang-terangan terhadap urusan internal China dan pelanggaran kedaulatan. China juga mendesak Takaichi untuk menarik kembali ucapannya, sambil menegaskan bahwa China–Jepang sudah memiliki komitmen bilateral untuk menghormati prinsip One China Policy.
Juru bicara Beijing menekankan bahwa isu Taiwan bukan area yang bisa dinegosiasikan, dan mengangkat kembali kesan bahwa Jepang sedang menggeser posisinya ke arah intervensi.
Pertengahan November 2025 – Sanksi Ekonomi Datang Lebih Cepat dari Klarifikasi
Tak lama setelah kecaman, Beijing kembali menutup impor hasil laut dari Jepang—sebuah langkah yang sudah pernah digunakan China sebagai instrumen tekanan ekonomi dan kini diaktifkan lagi di tengah polemik tersebut.
Langkah ini menunjukkan bahwa ketegangan bukan hanya diplomatik, tetapi mulai merembet ke arena dagang yang selama ini jadi fondasi pragmatis hubungan kedua negara.
Akhir November 2025 – Upaya Penjelasan dari Tokyo
Takaichi mencoba meredam situasi dengan menyampaikan bahwa Jepang memiliki posisi yang konsisten dan tidak berubah terkait Taiwan. Namun, Beijing menilai penjelasan itu tidak memadai dan menyebutnya ambigu. Bagi China dan publik internasional, “konsisten” tidak cukup—yang ingin didengar adalah pengakuan bahwa pernyataan sebelumnya keliru, atau setidaknya ada koreksi eksplisit.
27 November 2025 – China Menolak Penjelasan dan Menagih Pengakuan Kesalahan
Dalam konferensi pers, juru bicara Kemenlu China Guo Jiakun menyatakan bahwa Takaichi belum mengakui kesalahan pernyataannya, dan justru masih berusaha menggiring opini bahwa status Taiwan bisa dipertanyakan.
Guo kembali membeberkan landasan historis dan hukum versi Beijing:
- Deklarasi Kairo (1943) dan Proklamasi Potsdam (1945) telah menetapkan pengembalian Taiwan ke wilayah China,
- serta dokumen bilateral kedua negara yang menegaskan posisi Taiwan sebagai bagian dari China.
Beijing menilai sikap ini merusak fondasi hubungan politik China–Jepang, dan menganggap Takaichi tidak mengakui kekeliruan yang muncul dari ucapannya di parlemen.
Peta yang Berubah di Asia-Pasifik
Kontroversi ini menimbulkan resonansi luas. Jepang sejak 1945 berada di bawah konstitusi pasifis yang membatasi penggunaan militer, tetapi dinamika terbaru menunjukkan adanya dorongan penguatan postur keamanan di dekat perairannya, terutama di sekitar Taiwan. Kritik dan kekhawatiran pun bermunculan—bukan hanya di China, tetapi juga di negara-negara Asia yang memandang kebangkitan wacana militer Jepang dengan memori sejarah yang belum sepenuhnya sembuh.
Penutup
Taiwan bukan lagi sekadar pulau di peta; ia adalah titik uji niat dan batas negara-negara di kawasan saat dua kekuatan besar bertatap muka. Bagi Jepang, isu ini sekaligus menjadi ujian: apakah pernyataan itu adalah bagian dari strategi pertahanan baru, atau sekadar salah-ucap yang menuntut koreksi? Bagi China, jawabannya sudah jelas—dan amarah Beijing menunjukkan bahwa ambiguitas bukan opsi.
Jika kamu mau, saya bisa lanjut susun:
- versi timeline bullet untuk lampiran,
- atau highlight kutipan penting untuk pull-quote visual di artikel.
Mau yang mana dulu?
























