Fusilatnews – Belum juga matahari mencapai tengah langit, bayangan sudah dibicarakan seolah senja akan segera tiba. Seperti itulah ucapan Jokowi di hadapan pendukungnya: Prabowo–Gibran harus diproyeksikan untuk dua periode. Satu langkah baru dimulai, tetapi ia sudah sibuk menandai ujung jalan.
Ucapan ini seperti menyalakan lampu di kejauhan sebelum perjalanan benar-benar dimulai. Belum genap setahun, Jokowi sudah menaruh tanda: dua periode. Sebuah ambisi yang terlalu dini, dan sesungguhnya mencerminkan sesuatu yang bukan lagi soal kenegarawanan, melainkan ketakutan. Ada bayangan yang terus mengejarnya, dan ia ingin memastikan bahwa cahaya kekuasaan tetap menyinari jalannya, agar bayangan itu tak sempat berubah menjadi ancaman nyata.
Prabowo menjawab dengan cara lain. Tidak frontal, tidak emosional, tetapi sarat makna. Ia menyatakan dirinya belum berpikir sampai kepada dua periode. Baginya, yang penting adalah menuntaskan lebih dulu apa yang ia sedang kerjakan. Soal pencalonan kembali, kata Prabowo, itu keputusannya sendiri. Bahkan ia menambahkan, bila apa yang dikerjakannya kini tidak berhasil, ia tak akan mencalonkan lagi pada 2029.
Di sinilah garis diametral itu tampak. Jokowi berbicara tentang kesinambungan kekuasaan, Prabowo berbicara tentang keberhasilan kerja. Jokowi menaruh batu untuk mengikat masa depan, Prabowo mencoba menapaki langkah hari ini. Jokowi ingin memperpanjang cahaya lampu, Prabowo menyadari bahwa lampu itu hanya layak menyala jika jalan yang ditempuh memang berhasil dilewati.
Kritik kepada Jokowi sebetulnya sederhana. Mengapa harus tergesa membicarakan dua periode, sementara periode pertama saja belum terlewati? Mengapa tidak memberi ruang bagi sejarah untuk menilai? Di balik kata-katanya, publik menangkap kegelisahan. Keinginan dua periode itu lebih tampak sebagai kebutuhan akan perlindungan, bukan keyakinan akan prestasi.
Prabowo, dengan jawabannya, sedang mengingatkan kita pada sesuatu yang jarang muncul dalam politik: kesadaran akan batas. Bahwa mandat rakyat bukan cek kosong, dan kekuasaan tidak bisa diperlakukan sebagai cermin yang memantulkan wajah seorang presiden tanpa henti. Ada syarat, ada ukuran, ada tanggung jawab.
Apakah ia akan konsisten dengan ucapannya, waktu yang akan menjawab. Tapi untuk saat ini, pertentangan diametral itu memperlihatkan dua wajah kepemimpinan: yang satu berjalan sambil sesekali menoleh ke belakang, dihantui bayangan yang makin panjang; yang lain, setidaknya dalam kata-kata, mencoba menatap lurus ke depan, menimbang arti keberhasilan sebelum bicara tentang masa yang lebih jauh.
Dan mungkin, di situlah perbedaan paling hakiki: yang satu dibimbing oleh rasa takut, yang lain—setidaknya kali ini—oleh rasa tanggung jawab.