Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
(Ikhtisar: Overview Jokowi, Negarawan Terhormat?)
Publik Indonesia terbiasa meletakkan jabatan presiden di etalase kehormatan. Sebuah posisi yang diasumsikan steril dari noda. Namun ketika nama Joko Widodo disebut oleh lembaga riset antikorupsi global, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), sebagai pemimpin terkorup nomor dua di dunia saat masih berkuasa, ruang hening itu pecah. Alih-alih menepis, atau setidaknya meminta klarifikasi, negara memilih diam. Jokowi sendiri tak menuntut. Padahal, jika itu fitnah, hukum menyediakan pintu.
Pasal 5 KUHP lama—warisan Staatsblad 1946—memuat asas nasional pasif: memungkinkan penuntutan terhadap warga atau lembaga asing yang di luar negeri melakukan tindak pidana terhadap kepentingan negara Indonesia. Logika hukumnya lugas. Jika seorang mantan presiden merasa difitnah oleh OCCRP, ia bisa menempuh mekanisme delik aduan. Lebih jauh, Kapolri atas nama pemerintah dapat mengambil alih demi menjaga citra dan kepentingan nasional, apalagi locus institusi OCCRP teridentifikasi berada di Belanda—negara yang terikat perjanjian Mutual Legal Assistance Treaty (MLAT) dengan Indonesia.
MLAT bukan dokumen seremonial. Ia adalah kanal pertukaran data, bukti, dan bantuan penyidikan lintas negara. Dengan MLAT, penuntutan bahkan dapat memperluas lingkup tanpa sekadar klaim personal—melainkan klaim kerusakan pada kepentingan nasional. Di sini paradoksnya: perangkat tersedia, kerugian reputasi bisa dibuktikan, dukungan moral publik pun hampir pasti muncul. Namun baik Jokowi maupun pemerintah memilih senyap, seolah label OCCRP itu angin lalu yang lewat di selat sempit istana.
Diam dalam perpolitikan adalah bahasa. Dan rakyat paham aksennya. Seorang yang merasa difitnah—terlebih negarawan, yang menurut doktrin semestinya menjadi living symbol of state dignity—tak akan membiarkan reputasinya ditandai notoire feiten bernada negatif tanpa perlawanan. Ketidaktegasan itu menimbulkan asumsi balik: barangkali perasaan “fitnah” itu memang tak pernah ada, atau keyakinan untuk membuktikan “kebenaran” itu memang rapuh.
Keraguan publik tak berhenti di OCCRP. Di dalam negeri, kritik terhadap Jokowi bertumpuk seperti arsip yang tak sempat dipilah. Tuduhan praktik cawe-cawe yang beraroma KKN, isu pembiaran pelanggaran etika kekuasaan, hingga kabar dugaan pemalsuan ijazah dan pemalsuan akta autentik, terus bergulir di ruang opini hukum. Bukan dari gosip lorong, melainkan dari analis, advokat, hingga akademisi yang mengidentifikasi adanya dugaan delik pemalsuan surat dalam dokumen publik yang semestinya tak boleh cacat.
Problemnya bukan sekadar kebenaran tuduhan itu, melainkan respons kekuasaan atas tuduhan itu. Negara yang sehat tak memuliakan presidennya dengan impunity by silence. Perlindungan kehormatan bukan lewat mendiamkan kritik, melainkan membuka verifikasi. Tokoh yang patut dianakemaskan adalah figur yang ketika dilempar tuduhan, membuka gelanggang pembuktian, bukan menutup tirai.
Jokowi, dengan segala capaian infrastruktur yang sering dijadikan dalih keagungan, belum mencapai maqam itu. Ia piawai di lapangan pembangunan, tetapi asing di lapangan pertanggungjawaban. Ketika hukum memanggil untuk bertindak demi kehormatannya sendiri dan kepentingan nasional, yang terdengar hanya gaung birokrasi yang gagap, bukan langkah negarawan.
Menganakemaskan presiden—lebih lagi mantan presiden—memang kewajiban moral. Tetapi kewajiban itu gugur ketika subjek yang dilindungi menolak menggunakan fasilitas hukum untuk melindungi dirinya sendiri dan nama negara. Di titik itu, keberpihakan berubah menjadi pembiaran yang salah alamat: proteksi pada figur, bukan proteksi pada integritas republik.
Presiden bukan anak emas. Dan mantan presiden yang tak menegakkan kehormatannya dengan mekanisme yang sah, sulit untuk ditempatkan sebagai permata yang wajib dipoles dan disucikan dari kritik. Negara seharusnya adil: menghormati jabatan, tetapi menuntut mutu dari yang pernah menjabat.
Jika tidak, yang dianakemaskan bukan negarawan—melainkan preseden buruk: bahwa kekuasaan cukup dijaga dengan senyap, bukan dengan pembuktian. Republik Indonesia pantas mendapatkan simbol yang lebih tinggi dari itu. Tokoh yang ketika berdiri, bukan sekadar kokoh, tetapi juga siap diuji. Jokowi belum membuktikan kesiapan itu. Dan karena itu, ia tak pantas dianakemaskan.
Damai Hari Lubis
























