• Login
ADVERTISEMENT
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content
No Result
View All Result
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content
No Result
View All Result
Fusilat News
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home Feature

Ketika Suara Pemimpin Menghancurkan Nelayan: Krisis Seafood Jepang–China 2025

Ali Syarief by Ali Syarief
November 26, 2025
in Feature, Japanese Supesharu, Tokoh/Figur
0
Ketika Suara Pemimpin Menghancurkan Nelayan: Krisis Seafood Jepang–China 2025
Share on FacebookShare on Twitter

Saya selalu percaya bahwa krisis besar sering lahir dari hal-hal kecil. Guncangannya mungkin dimulai dari ruang rapat yang dingin, dari podium yang disorot lampu media, atau dari satu pernyataan pemimpin yang diproduksi seperti kalimat standar, tetapi ketika dilempar ke atmosfer geopolitik, ia bisa meledak seperti senjata pemusnah pasar.

Dan Jepang mengalaminya pada 2025.

Bukan karena gunung Fuji meletus atau pasar saham kolaps. Bukan juga karena badai pasifik menghajar pelabuhan utara. Krisis terbesar Jepang tahun ini tidak bermula dari laut, melainkan dari mulut seorang pemimpin di Tokyo: Sanae Takaichi.

Pada awal November 2025, Perdana Menteri Jepang mengucapkan pernyataan yang dalam kerangka domestik tampak seperti komitmen politik biasa. Sebuah garis redaksional tegas untuk menyenangkan basis konservatifnya. Sebuah jaminan moral bagi aliansi Jepang–AS, juga sinyal dukungan bagi Taiwan, yang sejak lama menjadi titik sensitif dalam relasi Jepang–China.

Takaichi menegaskan: jika terjadi serangan China ke Taiwan, dan situasinya dianggap mengancam kelangsungan hidup Jepang, maka Tokyo bisa membalas dengan hak bela diri kolektif, termasuk opsi respons militer.

Di Tokyo, gemanya mungkin sebatas tajuk berita dan perdebatan panel talk-show. Di Hokkaido, barangkali itu hanya lewat sebagai noise politik di layar restoran. Tapi di Beijing? Kalimat itu bukan lewat. Ia mendarat.

Bagi China, Taiwan adalah wilayah yang tidak boleh disentuh lewat wacana campur tangan militer, apalagi oleh negara yang pernah menjadi rival historisnya seperti Jepang.

Jepang bicara keamanan Taiwan, China mendengarnya sebagai ancaman terhadap klaim kedaulatannya. Jepang bicara “situasi eksistensial”, China mendengarnya sebagai deklarasi bahwa Tokyo sedang bersiap mengambil posisi dalam konflik yang selama ini hanya ditangani Beijing, Taipei, dan Washington.

Dan reaksi Beijing tidak lama datang.

China memilih respons yang jauh lebih efektif dari sekadar protes diplomatik, atau nota keberatan lewat kedutaan. Mereka menggunakan instrumen yang bahkan lebih menakutkan dari armada laut: embargo ekonomi. Senjata yang tidak butuh bahan bakar kapal, tidak butuh amunisi, tidak butuh deklarasi perang. Ia hanya butuh satu putusan bea-cukai: stop impor seafood Jepang.

Begitulah Jepang terseret ke dalam krisis hasil laut 2025.


Nelayan yang Tidak Pernah Menembakkan Retorika, Kini Terkena Ledakannya

Dampaknya brutal terutama bagi komunitas pekerja laut di Jepang. Jepang memang dikenal unggul dalam teknologi kelautan, manajemen cold chain, dan standar keamanan pangan tinggi. Tetapi ironisnya, kecanggihan itu justru memperbesar tragedi saat pasar China tertutup.

Bayangkan jutaan kg ikan, scallop, kepiting, kerang, rumput laut olahan kelas ekspor, terus mengalir ke fasilitas penyimpanan dingin… tanpa pembeli. Bukan karena produknya buruk. Tetapi karena negara pembeli memutuskan: tidak akan ada pasar untuk hasil laut Jepang di China dalam kondisi ini.

Nelayan Hokkaido, salah satu lumbung seafood Jepang, adalah kelompok yang paling cepat merasakan pukulan. Mereka bukan kelompok yang hadir di parlemen, mereka tidak menulis doktrin keamanan, mereka tidak menentukan kebijakan luar negeri. Mereka hanya menebar jaring di laut Okhotsk, memanen scallop di perairan dingin, dan bekerja dari subuh hingga malam.

Tetapi dalam hitungan jam, pemasukan mereka rontok mendadak karena negara yang selama ini menjadi importir utama mereka, mengunci pintu pelabuhan dan pasar ritel bagi seafood Jepang.

Bagi rumah tangga nelayan, artinya sederhana: ketika truk pendingin kembali ke pelabuhan tanpa order distribusi, piring makan mereka akan kosong. Bagi perusahaan eksportir, artinya pun sederhana: ketika kapal siap berlayar tetapi tak punya tujuan pengiriman, invoice tidak akan pernah dicetak. Bagi pabrik pengolahan, artinya pun sederhana: ketika pembelian dibekukan, mesin masih hidup, tetapi garis produksi mati.

Ekonomi Jepang tidak hanya tersandung, ia terlipat dari sisi yang paling tidak diduga: produk laut yang menumpuk, rantai pasok yang membeku, dan pelaku industri kecil yang tidak diberi jeda untuk mengatur napas.


Jika Dulu Krisis Jepang dari Laut, Kali Ini dari Kalimat

Jepang pernah jatuh karena laut: 2011 mengajarkan dunia bagaimana tsunami mampu meluluhkan energi, properti, dan logistik Jepang. Tetapi 2025 mengajarkan hal yang berbeda: tsunami ekonomi tidak selalu berasal dari air. Ia bisa berasal dari wacana.

Jika tsunami 2011 menghancurkan pelabuhan, maka tsunami 2025 menghancurkan pasar.
Jika tsunami 2011 melumat cold storage secara fisik, maka tsunami 2025 membuatnya penuh tak berguna.
Jika tsunami 2011 memutus logistik karena infrastruktur hancur, maka tsunami 2025 memutus logistik karena hubungan diplomatik pecah.

Bagi Asia, ini adalah babak baru konflik: perang ekonomi yang tidak meletuskan bom, tetapi meletuskan kolaps industri.

Tidak ada jet tempur, tetapi ada perusahaan yang tutup buku.
Tidak ada rudal balistik, tetapi ada kontainer yang tidak akan pernah dibuka.
Tidak ada seragam militer di garis depan, tetapi ada nelayan yang pulang tanpa penghasilan.

Dan inilah tragedinya: pasar laut adalah pasar yang waktunya paling cepat bergerak. Ikan tidak bisa menunggu negosiasi antar menteri luar negeri. Kerang tidak bisa menunggu klarifikasi juru bicara. Kepiting tidak bisa diselamatkan oleh pernyataan penjelas yang dipoles lagi. Karena produk laut punya jam biologis, sementara politik punya jam birokrasi.


Amerika yang Dianggap Payung, Tidak Lagi Menjadi Dinding Pelindung

Di masa sebelumnya, Tokyo selalu merasa bahwa keberanian geopolitiknya aman karena ada aliansi dengan Amerika Serikat. Bahwa ketegangan dengan Beijing tidak akan berujung tanpa pelindung, karena Washington ada di belakang mereka.

Tetapi 2025 memperlihatkan nuansa yang lebih dingin: aliansi keamanan tidak otomatis berarti aliansi pasar. Amerika bisa bicara soal dukungan pertahanan, tetapi tidak bisa memaksa lidah konsumen China untuk membeli scallop Jepang, atau memaksa bea-cukai Beijing membuka lagi pintu impor.

Bahkan jika Washington ingin protes, China tidak peduli — karena kekuatan pasar China jauh lebih besar dari kekuatan lobi Jepang di Washington.

China bisa makan tanpa Jepang. Tetapi Jepang tidak bisa jualan hasil laut tanpa China.


Jepang Menjual Narasi, China Membeli Realita

Jepang mencoba menata ulang citra produk laut mereka di pasar barat. Tetapi itu tidak semudah mengganti slogan di label kemasan. Pasar Eropa punya standar inspeksi ketat dan aturan impor yang kompleks. Pasar Amerika Serikat punya budaya konsumsi yang berbeda — seafood premium bukan kebutuhan massal seperti di China. Ongkos kirim ke barat jauh lebih mahal dibanding distribusi regional Asia Timur.

Jepang ingin menjual “nilai” dan “narasi”.
China memutus pembelian justru karena “nilai” dan “narasi” itu menabrak klaim geopolitiknya.

Dan akhirnya, kerang yang membusuk di gudang pendingin Jepang bukan hanya produk gagal ekspor — ia menjadi penanda zaman: ketika diplomasi tidak lagi dilawan dengan nota protes, tetapi dengan penalti ekonomi yang langsung menghantam rakyat kecil.


Indonesia dan Negara Pesisir Lain Harus Membaca Ini sebagai Sirine Bahaya

Bagi Indonesia, negara nusantara yang ekonominya banyak berdiri di kaki pesisir, kejadian ini semestinya berbunyi sebagai sirine panjang:

  • Jangan terlalu bergantung pada satu pasar.

  • Jangan biarkan kendali ekspor berada sepenuhnya pada negara lain.

  • Jangan menempatkan ekonomi nelayan di bawah ketergantungan hubungan politik yang rapuh.

  • Dan yang paling penting: jangan biarkan satu kalimat pemimpin menghancurkan ratusan ribu nyawa kecil yang tidak pernah diajak berunding.

Karena di era raksasa ekonomi, yang memenangkan konflik bukan selalu yang paling kuat armadanya, tetapi yang paling luas pasarnya.

Dan Jepang belajar — dengan ongkos yang sangat mahal.


Penutup: Itu Hanya Satu Kalimat, Tetapi Pasarnya Berton-ton

Dunia kini memandangi Asia Timur dengan rasa panas-dingin. Tetapi nelayan di utara Jepang memandangnya dengan rasa yang lebih pahit: mereka tidak sedang membahas Taiwan, mereka sedang kehilangan pelanggan.

Jepang selalu unggul dalam harmoni bahasa dan budaya. Tapi 2025 memperlihatkan paradoksnya: harmoni kalimat di Tokyo, bisa menjadi disonansi nasib di pelabuhan utara.

Dan dari sini kita belajar sebuah tesis baru:

Suara pemimpin bisa lebih tajam dari angin laut, dan lebih merusak dari gelombang pasifik — jika ia menabrak dinding sensitivitas geopolitik tanpa rem ekonomi.

Satu kalimat bisa memanaskan selat.
Tapi jutaan kg seafood tidak bisa dipulihkan oleh editorial atau klarifikasi.

Karena ikan membusuk oleh waktu.
Sedangkan pasar membusuk oleh politik.

Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.

Unsubscribe
ADVERTISEMENT
Previous Post

Ketika Tambang Menjadi Kutukan NU

Next Post

OLIGOPANGAN & SERAKAHNOMIC: Ketika Ekonomi Jadi Mesin Penggiling Petani “SERAKAHNOMIC” DALAM DUNIA PANGAN

Ali Syarief

Ali Syarief

Related Posts

Kasus Ijazah Jokowi, Ujian Integritas Indonesia sebagai Negara Hukum
Crime

Kasus Ijazah Jokowi, Ujian Integritas Indonesia sebagai Negara Hukum

November 28, 2025
Menertibkan Ruang Publik: Ketika Sampah jadi Indikator Peradaban — Perda Kota Bandung No. 9 Tahun 2018
Crime

Menertibkan Ruang Publik: Ketika Sampah jadi Indikator Peradaban — Perda Kota Bandung No. 9 Tahun 2018

November 28, 2025
Api yang Sama di Dua Lilin: Renungan tentang Persahabatan
Feature

Akhlaq Politik Islami: Ketika Kuasa Menjadi Ibadah

November 28, 2025
Next Post
Harga Cabai hingga Beras Kompak Melonjak

OLIGOPANGAN & SERAKAHNOMIC: Ketika Ekonomi Jadi Mesin Penggiling Petani "SERAKAHNOMIC" DALAM DUNIA PANGAN

Indonesia Sudah Dijual ke China? — Saat GBHN Diganti OBOR

Indonesia Sudah Dijual ke China? — Saat GBHN Diganti OBOR

Notifikasi Berita

Subscribe

STAY CONNECTED

ADVERTISEMENT

Reporters' Tweets

Pojok KSP

  • All
  • Pojok KSP
Ketika Tambang Menjadi Kutukan NU
Feature

Ketika Tambang Menjadi Kutukan NU

by Karyudi Sutajah Putra
November 26, 2025
0

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI) Jakarta - Taruhlah gula. Maka semut-semut akan bertarung memperebutkannya....

Read more
Pemerintah Apresiasi SETARA Institute Gelar Anugerah Bisnis dan HAM 2025

Pemerintah Apresiasi SETARA Institute Gelar Anugerah Bisnis dan HAM 2025

November 26, 2025
Akan Berlaku 2 Januari 2026, Siswa SMA Muhammadiyah 25 Pamulang Dibekali Pemahaman KUHP Baru

Akan Berlaku 2 Januari 2026, Siswa SMA Muhammadiyah 25 Pamulang Dibekali Pemahaman KUHP Baru

November 24, 2025
Prev Next
ADVERTISEMENT
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Pernyataan WAPRES Gibran Menjadi Bahan Tertawaan Para Ahli Pendidikan.

Pernyataan WAPRES Gibran Menjadi Bahan Tertawaan Para Ahli Pendidikan.

November 16, 2024
Zalimnya Nadiem Makarim

Zalimnya Nadiem Makarim

February 3, 2025
Beranikah Prabowo Melawan Aguan?

Akhirnya Pagar Laut Itu Tak Bertuan

January 29, 2025
Borok Puan dan Pramono Meletup Lagi – Kasus E-KTP

Borok Puan dan Pramono Meletup Lagi – Kasus E-KTP

January 6, 2025
Copot Kapuspenkum Kejagung!

Copot Kapuspenkum Kejagung!

March 13, 2025
Setelah Beberapa Bulan Bungkam, FIFA Akhirnya Keluarkan Laporan Resmi Terkait Rumput JIS

Setelah Beberapa Bulan Bungkam, FIFA Akhirnya Keluarkan Laporan Resmi Terkait Rumput JIS

May 19, 2024
Salim Said: Kita Punya Presiden KKN-nya Terang-terangan

Salim Said: Kita Punya Presiden KKN-nya Terang-terangan

24
Rahasia Istana Itu Dibuka  Zulkifli Hasan

Rahasia Istana Itu Dibuka  Zulkifli Hasan

18
Regime Ini Kehilangan Pengunci Moral (Energi Ketuhanan) – “ Pemimpin itu Tak Berbohong”

Regime Ini Kehilangan Pengunci Moral (Energi Ketuhanan) – “ Pemimpin itu Tak Berbohong”

8
Menguliti : Kekayaan Gibran dan Kaesang

Menguliti : Kekayaan Gibran dan Kaesang

7
Kemana Demonstrasi dan Protes Mahasiswa Atas Kenaikan BBM Bermuara?

Kemana Demonstrasi dan Protes Mahasiswa Atas Kenaikan BBM Bermuara?

4
Kemenag Bantah Isu Kongkalikong Atur 1 Ramadan

Kemenag Bantah Isu Kongkalikong Atur 1 Ramadan

4
Kasus Ijazah Jokowi, Ujian Integritas Indonesia sebagai Negara Hukum

Kasus Ijazah Jokowi, Ujian Integritas Indonesia sebagai Negara Hukum

November 28, 2025
Menertibkan Ruang Publik: Ketika Sampah jadi Indikator Peradaban — Perda Kota Bandung No. 9 Tahun 2018

Menertibkan Ruang Publik: Ketika Sampah jadi Indikator Peradaban — Perda Kota Bandung No. 9 Tahun 2018

November 28, 2025
Api yang Sama di Dua Lilin: Renungan tentang Persahabatan

Akhlaq Politik Islami: Ketika Kuasa Menjadi Ibadah

November 28, 2025
Sanae Takaichi dan Tantangan Ekonomi Dua Kecepatan Jepang

Jepang, Taiwan, dan Bayangan Militerisme: Ketegangan Baru Tokyo–Beijing

November 28, 2025

ANGGOTA KEPOLISIAN DILARANG RANGKAP JABATAN Final, Mengikat, dan Tidak Boleh Lagi Dimaknai Ulang

November 28, 2025
Pemerintah Berencana Impor Beras Sebanyak 500 ribu Ton

SAKSI SENYAP DARI SABANG: SIAPA DALANGNYA? “MENCARI OTAK IMPOR BERAS DI TITIK NOL INDONESIA”

November 28, 2025

Group Link

ADVERTISEMENT
Fusilat News

To Inform [ Berita-Pendidikan-Hiburan] dan To Warn [ Public Watchdog]. Proximity, Timely, Akurasi dan Needed.

Follow Us

About Us

  • About Us

Recent News

Kasus Ijazah Jokowi, Ujian Integritas Indonesia sebagai Negara Hukum

Kasus Ijazah Jokowi, Ujian Integritas Indonesia sebagai Negara Hukum

November 28, 2025
Menertibkan Ruang Publik: Ketika Sampah jadi Indikator Peradaban — Perda Kota Bandung No. 9 Tahun 2018

Menertibkan Ruang Publik: Ketika Sampah jadi Indikator Peradaban — Perda Kota Bandung No. 9 Tahun 2018

November 28, 2025

Berantas Kezaliman

Sedeqahkan sedikit Rizki Anda Untuk Memberantas Korupsi, Penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakadilan Yang Tumbuh Subur

BCA No 233 146 5587

© 2021 Fusilat News - Impartial News and Warning

No Result
View All Result
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content

© 2021 Fusilat News - Impartial News and Warning

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

 

Loading Comments...