Fusilatnews – Kasus dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji 2023–2024 di Kementerian Agama (Kemenag) kembali menegaskan betapa rapuhnya integritas institusi yang semestinya menjadi teladan moral. Skandal ini mencoreng nama kementerian yang mestinya mengurus kebutuhan spiritual umat, bukan justru menjadikan ibadah haji sebagai ladang bancakan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa praktik lancung ini tidak berhenti pada level pejabat tinggi semata, melainkan mengalir berjenjang ke berbagai tingkatan pejabat Kemenag. Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa masing-masing pejabat mendapatkan bagian tersendiri dari hasil manipulasi kuota. Aliran dana tidak hanya berhenti di tangan pejabat, tetapi juga melalui orang kepercayaan, kerabat, hingga staf ahli. Dengan demikian, korupsi ini bukan tindakan individual, melainkan praktik sistemik yang merusak sendi-sendi birokrasi.
KPK sejauh ini telah menyita sejumlah aset hasil tindak pidana, termasuk dua rumah milik ASN di Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah senilai Rp6,5 miliar. Penelusuran lebih jauh juga menemukan aset lain berupa kendaraan, tanah, hingga uang tunai puluhan miliar rupiah. Semua ini menandakan bahwa penyimpangan bukan sekadar isu administrasi, melainkan upaya terstruktur untuk menggerogoti hak jamaah.
Salah satu sorotan penting adalah penyalahgunaan kuota tambahan sebanyak 20 ribu jamaah. Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018, pembagian kuota harus mengikuti proporsi 92 persen untuk jamaah reguler dan 8 persen untuk haji khusus. Namun, Kemenag justru membagi rata tambahan tersebut, 10 ribu untuk reguler dan 10 ribu untuk khusus. Akibatnya, kuota haji khusus bertambah di luar ketentuan, sementara jamaah reguler yang jumlahnya lebih besar harus rela dipangkas haknya. Perubahan komposisi ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merugikan ribuan calon jamaah yang sudah menanti bertahun-tahun.
Dalam dimensi hukum, KPK telah menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan penerapan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, juncto Pasal 55 KUHP. Penetapan ini menegaskan adanya dugaan niat jahat (mens rea) dari para penyelenggara haji, sebagaimana disampaikan juru bicara KPK, Budi Prasetyo. Skandal ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya persekongkolan sadar yang memanfaatkan posisi dan kewenangan.
Implikasi politik kasus ini juga tidak dapat diabaikan. Eks Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, bersama dua orang lainnya, telah dilarang bepergian ke luar negeri oleh KPK demi kelancaran proses hukum. Fakta ini menunjukkan bahwa skandal haji bukan sekadar kesalahan teknis birokrasi, melainkan juga menyentuh lingkaran kekuasaan tertinggi di Kemenag.
Ironisnya, ibadah haji yang mestinya menjadi momentum penyucian diri justru dikotori praktik suap, mark-up, dan bancakan kuota. Bagi jamaah, ibadah suci ini adalah puncak spiritualitas, hasil tabungan puluhan tahun, bahkan kadang pengorbanan hidup. Tetapi di tangan segelintir pejabat, haji diperlakukan layaknya komoditas yang bisa ditukar dengan rupiah.
Kasus ini seharusnya menjadi titik balik dalam penegakan hukum di sektor pelayanan publik keagamaan. Kemenag mesti dibersihkan dari praktik rente yang mengorbankan rakyat kecil. Lebih dari itu, negara wajib mengembalikan ibadah haji ke fitrah aslinya: jalan suci menuju Allah, bukan jalan pintas menuju kekayaan haram bagi para pejabatnya.