Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang didengungkan sebagai terobosan unggulan pemerintahan Prabowo, kini berada di persimpangan jalan. Apa yang semula dipromosikan sebagai upaya melahirkan generasi sehat dan cerdas, justru menampakkan wajah lain: rentetan kasus keracunan massal anak-anak di berbagai daerah. Kasus terbaru bahkan menimpa siswa kelompok Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)—usia di mana daya tahan tubuh sangat rentan dan pertumbuhan sedang berlangsung pesat.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, dengan tegas menyatakan perlunya evaluasi menyeluruh. KPAI bahkan mengusulkan penghentian sementara program MBG sampai instrumen panduan dan pengawasan benar-benar dijalankan. “Pertahanan anak sekecil itu sangat berbeda dengan orang dewasa. Pemerintah tidak boleh tutup mata jika ada kejadian darurat akibat program tersebut,” ujarnya.
Politik Efek Instan
MBG adalah contoh klasik dari apa yang dalam ilmu politik disebut populisme kebijakan. Ia dirancang untuk menghadirkan “efek langsung” (direct effect) yang mudah dijual secara politik: anak-anak mendapat makanan gratis, orang tua merasa terbantu, dan negara tampak hadir. Namun di balik itu, strategi ini lebih menyerupai politik elektoral ketimbang pembangunan jangka panjang.
Mengapa? Karena kualitas gizi anak-anak sejatinya tidak hanya ditentukan oleh seberapa sering mereka mendapat makanan gratis di sekolah. Lebih mendasar dari itu adalah pemerataan kesejahteraan keluarga, akses terhadap pangan sehat di rumah tangga, serta edukasi gizi yang berkelanjutan. Dengan kata lain, jika negara hanya sibuk memberi makan sekali-sekali, sementara dapur keluarga tetap miskin, rapuh, dan rawan pangan, maka program ini tak lebih dari tambal sulam.
Bahaya Mengorbankan Anak
Keracunan massal yang terjadi menunjukkan bahwa persoalan bukan sekadar “niat baik negara” memberi makan, melainkan ketidakmampuan manajemen program. Bahan pangan, proses memasak, higienitas, hingga mekanisme pengawasan, semuanya berada dalam sorotan. KPAI menegaskan bahwa prinsip perlindungan anak harus menjadi pijakan utama: mulai dari non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan, hingga penghargaan terhadap pendapat anak.
Jika pemerintah abai pada aspek mendasar ini, MBG justru akan menjadi bom waktu yang merusak kepercayaan publik. Tidak ada yang lebih tragis dalam politik selain ketika anak-anak menjadi korban dari kebijakan yang digembar-gemborkan sebagai “solusi cerdas bangsa”.
Membangun Strategi Jangka Panjang
Alih-alih terus menggelontorkan program instan, pemerintah seharusnya memikirkan jalan strategis: peningkatan kesejahteraan keluarga secara merata, perbaikan akses gizi di rumah tangga, dan pendidikan gizi yang berkesinambungan. Dengan itu, anak tumbuh sehat bukan karena bantuan sesaat dari negara, melainkan karena fondasi sosial-ekonomi keluarga mereka memang kokoh.
MBG hanya akan benar-benar relevan jika ia ditempatkan sebagai pelengkap, bukan substitusi, dari kebijakan struktural jangka panjang. Tanpa itu, program ini hanya menjadi politik simbolik yang lebih banyak melahirkan risiko daripada manfaat.
Jika menengok ke luar negeri, program makan bergizi di sekolah sebenarnya bukan hal baru. Jepang misalnya, sejak pascaperang sudah memiliki School Lunch Program yang bukan hanya memberikan makan siang gratis, tetapi juga didesain sebagai bagian dari pendidikan gizi dan budaya hidup sehat. Anak-anak tidak sekadar menerima makanan, melainkan juga belajar soal kebersihan, tata cara makan, hingga pentingnya menjaga asupan gizi. Di Amerika Serikat, program serupa dijalankan dengan pengawasan ketat pada standar gizi, higienitas, dan keamanan pangan, dengan evaluasi berlapis dari pemerintah federal hingga otoritas lokal. Perbandingan ini memperlihatkan bahwa keberhasilan program bukan pada “gratis”-nya, melainkan pada sistem pendukung yang kokoh—dari regulasi, pengawasan, hingga pendidikan keluarga. Tanpa itu, program seperti MBG hanya akan menjadi proyek politik jangka pendek yang rawan gagal dan membahayakan anak-anak.
Penutup
Kebijakan yang menyentuh langsung memang menggoda secara politik, apalagi bila manfaatnya dapat ditangkap kamera dalam bentuk senyum anak-anak di meja makan. Namun, jika di balik senyum itu tersimpan ancaman keracunan, kelalaian, bahkan pengabaian prinsip perlindungan anak, maka bangsa ini harus berani berkata jujur: program ini cacat sejak dalam konsep.
Membangun generasi sehat dan cerdas tidak bisa ditempuh dengan populisme efek instan. Ia hanya bisa dicapai melalui kebijakan yang serius, mendalam, dan berkelanjutan. Dan untuk itu, pemerintah perlu memilih: mau mengedepankan politik elektoral, atau masa depan anak bangsa.