Fusilatnews – Bandung punya reputasi besar: kota kreatif, magnet anak muda, laboratorium budaya urban. Namun, kreativitas tidak cukup jika dibangun di atas ironi paling nyata — perilaku membuang sampah sembarangan yang masih menghantui gang, trotoar, dan aliran sungai. Dalam kota yang padat gagasan, persoalan residu justru menjadi ujian kedewasaan sosialnya.
Untuk menertibkan itu, Pemerintah Kota Bandung memakai pendekatan hukum: Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Perda ini menggantikan aturan sebelumnya (Perda No. 9 Tahun 2011) dan menjadi dasar utama pengaturan tata kelola dan penindakan pelanggaran sampah di wilayah kota.
Larangan Mencemari Ruang Publik
Meski Perda 2018 menitikberatkan pada sistem pengelolaan — pemilahan, pengangkutan, pengurangan di sumber — ia secara jelas melarang tindakan yang mencemari fasilitas umum.
Larangan membuang sampah sembarangan diatur dalam bab ketentuan larangan, yang mencakup poin-poin seperti:
Membuang sampah di luar tempat yang telah ditentukan.
Mencampur sampah yang sudah dipilah.
Membuang sampah ke saluran air, sungai, trotoar, taman kota, dan ruang publik lainnya.
Membakar sampah yang tidak sesuai prosedur.
Larangan ini merupakan pondasi logika Perda — karena pengelolaan tidak bisa berjalan jika kedisiplinan di ruang publik runtuh.
Ruang Pasal Sanksi: Administratif & Tipiring
Sanksi terhadap pelanggaran terdapat pada Bab XI tentang Ketentuan Sanksi, yang memuat dua skema besar:
1. Sanksi Administratif
Diatur dalam Bagian Sanksi Administratif melalui mekanisme:
Teguran tertulis
Penghentian sementara kegiatan
Denda/uang paksa administratif
Pencabutan izin
Uang paksa administratif untuk pelanggaran pengelolaan dan pembuangan sampah di ruang yang tidak semestinya menjadi instrumen disinsentif finansial agar pelanggaran tidak lagi dianggap persoalan remeh.
📌 Ketentuan sanksi administratif terdapat dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Perda Kota Bandung No. 9 Tahun 2018, yang menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan pengelolaan sampah dapat dikenakan sanksi administratif berupa uang paksa selain teguran dan pencabutan izin.
2. Penindakan Tindak Pidana Ringan (Tipiring)
Pelanggaran membuang sampah di tempat umum juga dapat diproses melalui Tipiring, yang ditangani oleh penyidik/penegak Perda di lapangan dan pengadilan pidana ringan.
📌 Dasar penindakan Tipiring terhadap pelanggaran sampah di ruang publik merujuk pada ketentuan pidana ringan dalam Perda yang memberi mandat penegak hukum daerah untuk menindak pelaku yang tertangkap tangan membuang sampah sembarangan di fasilitas umum.
Mengoreksi Kekeliruan Logika Publik
Keluhan paling sering muncul pada nominal denda administratif yang dikabarkan bisa mencapai Rp1 juta. Tetapi kalimat protes itu biasanya gagal memahami esensinya — bahwa denda bukan harga sampah yang dibuang, melainkan harga dari abainya tanggung jawab bersama.
Pembiaran terhadap satu pelaku memang terasa kecil. Tetapi pembiaran terhadap 10 ribu pelaku adalah kehancuran ruang ekologis dan sosial. Nilai denda besar ada untuk menghentikan normalisasi abai, bukan sekadar menghukum.
Namun denda administratif tidak berdiri sendirian. Saat tempat sampah minim, pengawasan longgar, atau penindakan tebang pilih, maka Perda gagal menjadi pendidikan sosial dan hanya berubah jadi pameran otoritas. Sebab hukum yang tidak adil tidak mendidik — ia menakut-nakuti.
Sampah dan Psikologi Kepemilikan Kota
Warga biasanya menjaga hal yang dianggap ia punyai. Masalahnya, ruang publik jarang dipahami sebagai milik bersama. Ia sering dilihat sebagai domain pemerintah, bukan asset yang dipinjam dari masa depan. Akibatnya, orang bebas mengotori karena merasa tidak akan menanggung akibatnya.
Perda 9/2018 mencoba membongkar ilusi itu: bahwa kota bukan milik Wali Kota, atau Dinas Lingkungan Hidup — ia milik warga yang tinggal, berjalan, dan menghirup udara di dalamnya. Dan karena itu, ia menuntut konsekuensi ketika warga memperlakukannya secara serampangan.
Penutup: Bandung yang Tidak Hanya Pandai Mencipta, Tetapi Menjaga
Dengan Perda Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2018, khususnya Pasal 60–63 tentang sanksi administratif dan mandat penindakan tipiring di lapangan, soal sampah di ruang publik tidak lagi berhenti di moral, tetapi masuk ke wilayah konsekuensi struktural.
Tantangan Bandung sekarang bukan menulis aturan baru, tetapi menegakkan aturan lama dengan terhormat: konsisten, adil, edukatif, dan bertumpu pada ketersediaan fasilitas, bukan sekadar ancaman.
Sebab kota beradab bukan diukur dari apa yang ia bangun, melainkan dari apa yang ia tidak biarkan berserakan di jalan.






















