Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Keputusan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, keponakan Presiden Prabowo Subianto, untuk mundur dari DPR RI mengejutkan publik. Dengan jabatan strategis sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, ia menanggalkan kursi empuknya secara sukarela. Langkah itu diambil setelah pernyataannya dalam sebuah siniar pada awal 2025 menuai kritik keras.
Saraswati saat itu mengatakan, “generasi muda sebaiknya tidak terlalu bergantung pada pemerintah.” Sebuah pernyataan yang, meski bisa dimaknai sebagai dorongan kemandirian, terasa asing di telinga masyarakat kecil karena ia sendiri berasal dari keluarga konglomerat.
Namun yang menarik bukan isi ucapannya, melainkan sikapnya. Saraswati sadar dirinya telah melukai publik. Tanpa menunggu desakan, cacian, atau gelombang tekanan, ia memilih mundur. Dari perspektif politik hukum ketatanegaraan, sikap ini selaras dengan tuntutan etika publik sebagaimana diatur dalam TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Saraswati memberi teladan: tahu diri, berjiwa besar, dan berani menanggung konsekuensi dari ucapannya.
Di titik inilah publik lalu bertanya: kapan moralitas serupa dicontohkan oleh Gibran Rakabuming Raka? Sebagai Wakil Presiden terpilih, Gibran justru diam seribu bahasa meski statusnya cacat konstitusi pasca Putusan MKMK. Apakah ia tak tergerak oleh etika politik? Ataukah kesadaran moral memang tidak diajarkan dalam lingkaran kekuasaan keluarganya?
Jika saja Gibran mengikuti jejak Saraswati dengan mundur dari kursi RI-2, niscaya Jokowi akan lebih pantas berbangga. Ia bisa mengatakan telah membesarkan anak yang menghormati konstitusi, etika, dan rakyatnya. Sebagaimana Prabowo kini bisa bangga pada keponakannya.
Pertanyaan selanjutnya lebih luas: adakah para legislator lain yang mau bercermin? Berapa banyak di antara mereka yang pernah mengkhianati amanah rakyat dengan menelantarkan aspirasi konstituen? Apakah mereka berani, seperti Saraswati, menempuh jalan ikhlas untuk mundur?
Publik kini menunggu. Bukan sekadar pidato manis atau janji politik, melainkan tindakan nyata: keikhlasan untuk mundur demi etika, demi moral, demi bangsa.