Oleh: Malika Dwi Ana
Sidak Bandara Morowali yang tiba-tiba viral pekan lalu bukanlah karena kamera kebetulan menemukan kejanggalan. Ia adalah pengakuan terbuka bahwa selama satu dekade terakhir, kita telah membangun sistem di mana kedaulatan negara bisa disewa, dijual, atau dikontrakkan lewat stempel “Proyek Strategis Nasional” (PSN) dan satu pasal ajaib dalam UU Cipta Kerja.
Fakta Morowali sudah telanjang:
– Bandara beroperasi sejak 2019 tanpa otoritas negara (tanpa Imigrasi, Bea Cukai, Karantina).
– Kawasan 4.000 hektare lebih mirip wilayah otonom perusahaan asing ketimbang bagian dari NKRI.
– Barang, manusia, dan modal mengalir bebas tanpa tercatat dalam sistem negara.
Tapi jangan tertipu. Morowali bukan pengecualian. Ia hanyalah contoh paling jauh secara geografis, sehingga paling mudah dijadikan “kambing hitam” atau “pengalihan isu”. Yang jauh lebih berbahaya justru terjadi di depan mata kita, di jantung kekuasaan:
PIK 2, Jakarta Utara
– 5.000+ hektare laut direklamasi tanpa AMDAL yang benar-benar independen.
– “Pager bambu” sepanjang 31 km bukan lagi lelucon, tapi simbol nyata: negara tidak hadir di wilayah yang hanya 20 menit dari Istana Negara.
– Investor swasta (termasuk konglomerasi lokal + China) membentuk hukum sendiri: akses terbatas, pengamanan privat, dan rencana tata ruang yang tidak pernah dibahas DPRD DKI apalagi DPR RI.
Ini bukan lagi “negara dalam negara”.
Ini adalah negara yang digantikan oleh korporasi di dalam wilayah hukumnya sendiri.
Yang lebih tragis: semua ini legal.
– UU Cipta Kerja Pasal 169A memberikan perpanjangan otomatis izin tambang tanpa lelang.
– Perpres 109/2020 (PSN) menjadikan ratusan proyek kebal hukum biasa.
– Hak Guna Usaha sampai 190 tahun diberikan kepada investor asing di IKN.
– AMDAL dipotong dari 2 tahun jadi hitungan hari.
Hasilnya?
Kedaulatan bukan lagi soal bendera yang berkibar, tapi soal siapa yang mengontrol bandara, pelabuhan, listrik, air, dan data di wilayah itu. Ketika institusi negara (Bea Cukai, Imigrasi, TNI/Polri) harus minta izin masuk ke kawasan “investor”, maka konstitusi kita sudah tidak berlaku lagi di sana.
Morowali, PIK 2, IKN, Rempang, Raja Ampat, Halmahera, Kayan, hingga reklamasi Ancol—semua adalah titik-titik pada peta yang sama: peta pelepasan kedaulatan secara bertahap, terencana, dan dilegalkan.
Sidak Morowali akan berakhir antiklimaks—seperti kasus Whoosh, seperti kasus reklamasi Teluk Benoa, seperti janji “tidak ada lagi negara dalam negara”. Karena yang disidak bukan pelaku, tapi sistemnya sendiri. Dan sistem itu masih berkuasa.
Yang tersisa bagi kita hanya dua pilihan radikal:
1. Membongkar sistem ini lewat hukum (MK, KPK, class action rakyat) sebelum terlambat.
2. Menunggu sampai anak-anak kita benar-benar hanya menjadi satpam, OB, dan buruh kasar di atas tanah yang dulu kita sebut Indonesia.
Pilihan ada di tangan kita. Tapi sudah injury time.
Karena setiap perpres baru, setiap cap PSN baru, adalah satu langkah lagi menuju Indonesia yang hanya tinggal nama di peta dunia.
(Malika’s Insight 26 November 2025)

Oleh: Malika Dwi Ana























