Dulu, saat duka Bom Bali masih menyelimuti pulau ini, seorang pendeta berdiri di hadapan para pemimpin dunia, menatap mereka dengan tenang dan berkata: “Bali sudah kotor – mari kita sucikan.” Kata-kata itu tidak menuding siapa pun; tidak menyalahi Amrozi Cs, tidak menuduh pemerintah atau rakyat. Ia berbicara kepada hati nurani manusia, dan sekaligus kepada alam yang sedang menanggung luka.
Kini, banjir dahsyat melanda. Rumah-rumah rubuh, kendaraan hanyut, nyawa melayang. Alam seolah menjawab dengan keras: peringatan itu nyata. Dalam perspektif Hindu Bali, bencana seperti ini bukan kebetulan. Ini adalah karma kolektif, akibat tindakan manusia yang mengabaikan keseimbangan alam—perusakan hutan, pembangunan semena-mena di bantaran sungai, pencemaran sungai dan laut. Alam hidup dan menuntut keseimbangan; ketika manusia melanggarnya, alam “membalas” melalui bencana.
Banjir adalah pembersihan dan peringatan. Alam menunjukkan bahwa pulau ini telah ternoda, bukan sekadar oleh perilaku individu, tapi oleh kelalaian kolektif. Seperti dalam ajaran Hindu, alam adalah bagian dari Dewata Nawa Sanga, dewa-dewa penjaga arah dan kehidupan. Ketika manusia mengabaikan mereka, menjaga keseimbangan tidak lagi menjadi prioritas, dan bencana menjadi wujud dari ketidakseimbangan itu.
Namun, Hindu juga mengajarkan harapan dan penyucian. Banjir memberi kesempatan untuk introspeksi, untuk memperbaiki diri dan lingkungan. Melalui ritual, doa, dan tindakan nyata—membersihkan sungai, menata hutan, menjaga pantai, membangun selaras dengan alam—manusia bisa memulihkan harmoni antara dirinya, masyarakat, dan alam.
Bali tidak hanya memerlukan kata-kata belasungkawa. Bali membutuhkan kesadaran dan tindakan nyata. Alam sudah memberi peringatan; air telah berbicara. Kini tersisa pilihan: menunggu bencana berikutnya, atau menyucikan Bali dan hati kita, agar karma yang buruk tidak terus menumpuk, dan pulau ini kembali menjadi tempat yang teduh, seimbang, dan hidup selaras dengan manusia dan dewa.
Banjir adalah suara alam. Kata sang pendeta dulu kini terdengar lebih nyata dari sebelumnya: Bali sudah kotor. Mari kita sucikan—bukan esok, bukan nanti, tapi sekarang.