Oleh: Entang Sastraatmadja
Sekitar 73 tahun lalu, Proklamator bangsa Bung Karno dengan tegas menyatakan, “urusan pangan merupakan mati-hidupnya suatu bangsa.” Ucapan yang melegenda ini terus bergema lintas zaman dan masih relevan hingga hari ini. Bagi rakyat di Tanah Merdeka, pangan bukan sekadar kebutuhan konsumsi, melainkan sumber penghidupan dan kehidupan.
Disebut sumber penghidupan, karena jutaan warga menggantungkan nafkahnya di sektor pangan, dari hulu sampai hilir. Sementara sebagai sumber kehidupan, pangan menjadi penopang utama keberlangsungan manusia. Tanpa pangan, nyawa manusia dan martabat bangsa bisa runtuh.
Menyadari pesan moral Bung Karno, setiap pemerintahan sejak Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi menempatkan pangan sebagai sektor strategis. Bahkan kini, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016, pangan ditetapkan sebagai urusan wajib. Keseriusan itu diperkuat dengan lahirnya Badan Pangan Nasional berdasarkan Perpres Nomor 66 Tahun 2021, setelah penantian panjang sejak terbitnya UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012.
Namun, bagaimana dengan kelembagaan pangan di tingkat daerah? Apakah daerah diberi ruang membentuk Badan Pangan Daerah? Sejauh ini, jawabannya masih abu-abu. Pemerintah Pusat tampaknya lebih mendorong optimalisasi dinas pangan daerah sebagai kepanjangan tangan Badan Pangan Nasional. Pertanyaannya: bagaimana simpul koordinasi pusat dan daerah bisa berjalan solid tanpa kelembagaan yang kuat?
Dulu ada Dewan Ketahanan Pangan yang dipimpin langsung Presiden dan Kepala Daerah. Kini lembaga itu dibubarkan. Aspirasi untuk membentuk kembali Dewan Pangan Daerah patut dipertimbangkan. Kepala Daerah yang menjadi Ketua Dewan akan memperkuat sinergi dan kolaborasi, sehingga pembangunan pangan lebih berkualitas.
Kita tahu, tidak ada bangsa bubar karena kelebihan pangan. Sebaliknya, kehancuran bangsa kerap bermula dari krisis pangan. Itulah sebabnya pemerintah manapun tidak boleh main-main dengan urusan ini. Terlebih Indonesia, yang sangat bergantung pada satu bahan pangan pokok: beras.
Sejarah dan situasi global memberi peringatan keras. India, salah satu produsen beras terbesar dunia, kini membatasi ekspor untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri. Banyak kontrak dibatalkan demi rakyatnya sendiri. Pesan dari India jelas: dalam krisis pangan global, bangsa yang bijak akan mendahulukan keselamatan warganya.
Apa yang dilakukan India adalah cermin sekaligus peringatan. Indonesia harus belajar, bahwa menjaga kedaulatan pangan bukan pilihan, melainkan keharusan. Sebab benar, seperti kata Bung Karno: urusan pangan adalah soal hidup-mati bangsa.
(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)