Terkejut. Itulah reaksi spontan ketika publik menyaksikan dua tokoh kunci republik ini, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, beradu pernyataan secara terang-terangan. Tak lagi berbalut simbol atau diselipkan dalam kalimat diplomatis, melainkan telanjang, gamblang, bahkan kontras.
Jokowi, di hadapan para loyalisnya di Projo, mengatakan bahwa sejak awal ia sudah menyampaikan arahan: mendukung pasangan Prabowo–Gibran tidak hanya sekali, melainkan dua periode. Pernyataan Jokowi, sejatinya, dapat dimaklumi. Arah memang pasti ke sana. Pertama, karena kedunguannya—memahami politik sebatas kelanjutan kekuasaan tanpa visi jauh ke depan. Kedua, karena kepentingannya yang begitu telanjang: Jokowi sangat membutuhkan perlindungan, memastikan dirinya dan keluarganya tetap aman, serta menutup segala potensi masalah hukum dan politik yang bisa menjerat setelah lengser.
Namun, Prabowo merespons dengan semiotika yang menohok. Ia menegaskan belum berpikir sejauh itu. Fokusnya, kata Prabowo, adalah menuntaskan apa yang saat ini ia kerjakan. Soal periode kedua, ia menekankan, adalah hak prerogatif dirinya, bukan arahan dari siapa pun.
Di titik inilah publik melihat polemik. Apakah ini politiking belaka? Seberani itukah Prabowo menegasikan “titah” Jokowi? Atau jangan-jangan hanya omon-omon—sekadar manuver untuk menunjukkan kemandirian, sementara pada kenyataannya ia tetap berada dalam orbit skenario Jokowi?
Benturan ini jelas bukan sekadar perbedaan gaya bahasa. Ia adalah pertikaian diametral. Jokowi ingin mengamankan jalan dua periode bagi Prabowo–Gibran, bukan demi kepentingan bangsa, melainkan demi kepentingannya sendiri. Sementara Prabowo mencoba menunjukkan otonomi politiknya—bahwa ia bukan sekadar boneka yang bisa dikendalikan dari belakang layar.
Retakan itu kini sudah muncul ke permukaan. Apakah akan membesar menjadi perpecahan, atau sekadar riak kecil yang akan ditutup dengan kompromi? Publik menunggu, sambil bertanya-tanya: siapa sesungguhnya yang sedang memainkan siapa?