Fusilatnews – Kasus antara TNI dan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, bukan sekadar perselisihan biasa antara seorang warga sipil dengan institusi negara. Ada lapisan-lapisan pesan terselubung yang muncul dari cara TNI menyikapi persoalan ini.
Kontradiksi dengan Putusan MK
Mahkamah Konstitusi lewat putusan 105/2024 sudah menegaskan bahwa institusi negara tidak bisa menjadi korban pencemaran nama baik. Maka wajar jika publik bertanya: mengapa TNI tetap mempertimbangkan langkah hukum? Apakah ini bentuk ketidakpuasan terhadap putusan MK, atau justru upaya untuk mencari jalur hukum lain dengan memanfaatkan pasal-pasal “karet” seperti ujaran kebencian dan penyebaran hoaks?
Ketangguhan Institusi yang Dipertanyakan
Sebagai institusi bersenjata yang dibangun untuk menjaga pertahanan negara, TNI seharusnya memiliki imunitas sosial yang cukup kuat menghadapi kritik, fitnah, atau bahkan serangan verbal. Namun dalam kasus ini, TNI menampilkan wajah yang rapuh: merasa martabat dan kehormatannya runtuh oleh satu orang sipil yang berbicara di media sosial. Pesan terselubung yang muncul adalah, betapa rentannya institusi militer ketika berhadapan dengan opini publik.
Peran Hukum: Polri atau TNI?
Janggal ketika TNI menyatakan masih berkonsultasi hukum dengan Polda Metro. Bukankah penegakan hukum adalah domain Polri dan kejaksaan, bukan militer? Langkah ini memberi sinyal bahwa TNI masih punya kecenderungan untuk masuk ke ranah sipil, sesuatu yang mestinya sudah lama ditinggalkan sejak reformasi.
Framing “Stabilitas Nasional”
Pernyataan resmi TNI menyebut ucapan Ferry berpotensi memecah belah persatuan, mengadu domba TNI-Polri, bahkan mengancam stabilitas nasional. Benarkah kritik seorang pengusaha bisa menggoyang pilar keamanan negara? Ataukah justru TNI sengaja membesar-besarkan kasus ini untuk memberi pesan: jangan main-main dengan institusi militer, sekecil apa pun kritiknya bisa ditafsirkan sebagai ancaman bangsa.
Kepentingan yang Disamarkan
TNI menegaskan bahwa langkah hukum bukan demi kepentingan institusi, melainkan demi menjaga martabat seluruh prajurit dan stabilitas negara. Namun dari luar, justru terlihat jelas bahwa yang dipertaruhkan adalah citra institusi. Ada disonansi narasi di sini—antara membela kepentingan institusi dengan membungkusnya sebagai kepentingan bangsa.
Warga Negara vs Negara
Di sisi lain, Ferry menunjukkan sikap yang lebih tenang. Ia menyatakan siap diproses hukum, tidak takut, dan bahkan membantah narasi TNI bahwa dirinya sulit dihubungi. Ia menegaskan masih berada di Jakarta, terbuka pada wartawan, dan tidak lari ke luar negeri. Justru di sini publik melihat kontras: warga sipil yang kooperatif, berhadapan dengan institusi negara yang defensif.
DPR yang Ikut Campur
Komisi I DPR meminta TNI menjelaskan dugaan pidana Ferry. Apakah ini wujud pengawasan yang sehat, atau justru indikasi bahwa parlemen cenderung ikut membela institusi tanpa mempertanyakan apakah langkah TNI sudah sejalan dengan konstitusi?
Penutup
Kasus Ferry Irwandi memperlihatkan sebuah pesan terselubung: bahwa kritik terhadap institusi negara masih dianggap ancaman, bukan bagian dari dinamika demokrasi. Lebih jauh, kasus ini mengingatkan kita bahwa relasi antara warga negara dan institusi militer belum sepenuhnya beranjak dari paradigma lama—di mana militer merasa berhak menafsirkan stabilitas nasional sesuai kepentingannya.
Pertanyaan besarnya adalah: apakah langkah hukum terhadap Ferry benar-benar demi menjaga persatuan bangsa, atau justru demi mempertahankan ketakutan publik agar tidak berani mengkritik militer?