Fusilatnews – Jepang selama ini identik dengan disiplin. Dari kereta Shinkansen yang melaju dengan ketepatan hampir sempurna, hingga budaya meminta maaf meski terlambat satu menit, citra bangsa ini selalu dipuji sebagai teladan kedisiplinan dunia. Namun, kasus terbaru yang menimpa Japan Airlines (JAL) menunjukkan bahwa bahkan negara dengan reputasi setinggi itu pun tak kebal dari noda.
Seorang pilot JAL kedapatan mabuk sebelum bertugas menerbangkan pesawat. Insiden ini memaksa perusahaan mengeluarkan permintaan maaf resmi, sekaligus menelanjangi celah dalam sistem pengawasan yang selama ini dianggap rapat dan steril. Bagi publik Jepang, kasus ini lebih dari sekadar pelanggaran individu; ia meruntuhkan simbol kepercayaan bahwa “keselamatan ada di tangan mereka yang paling disiplin.”
Jika dibandingkan dengan negara lain, standar Jepang memang terlihat jauh lebih ketat. Di Amerika Serikat, pilot pun dilarang keras mengonsumsi alkohol setidaknya delapan jam sebelum terbang — aturan yang dikenal sebagai “bottle-to-throttle rule.” Pelanggaran bisa berujung pada pencabutan lisensi permanen. Sementara di Eropa, kasus pilot mabuk beberapa kali mencuat, namun sering dipandang sebagai kelalaian individu, bukan kegagalan sistemik.
Jepang berbeda. Karena budaya mereka dibangun di atas fondasi rasa malu dan tanggung jawab kolektif, satu kasus saja bisa dianggap mencoreng nama baik bangsa. Tidak heran, setiap kali insiden seperti ini terjadi, permintaan maaf publik disampaikan dengan nada penyesalan mendalam, seolah seluruh institusi ikut bersalah.
Ironisnya, dalam kehidupan sehari-hari, minum alkohol justru lumrah di Jepang. Tradisi nomikai — minum bersama rekan kerja setelah jam kantor — dianggap mempererat solidaritas. Namun ketika kebiasaan itu terbawa hingga mengancam keselamatan ratusan penumpang di udara, tradisi berubah menjadi tragedi potensial.
Kasus pilot mabuk JAL adalah pengingat pahit bahwa disiplin yang selama ini diagungkan Jepang bukanlah jaminan absolut. Sama seperti bangsa lain, Jepang tetap rentan pada kelemahan manusia. Bedanya, di mata dunia, satu retakan kecil saja sudah cukup untuk mengguncang citra “disiplin sempurna” yang mereka bangun selama puluhan tahun.