Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Fenomena politik Indonesia belakangan ini dipenuhi istilah-istilah baru yang lahir dari rahim pertarungan wacana. Salah satunya adalah istilah “Parcok”, yang sempat mengguncang jagat politik nasional. Istilah ini mula-mula dipublis oleh Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, yang dikenal sebagai sosok senior dalam dunia politik. Kata ini kemudian melekat, hidup, dan menjadi simbol kritik publik terhadap perilaku sejumlah oknum di institusi negara yang dianggap keluar jalur dari tugas pokok dan fungsinya.
Bagi Hasto, Parcok bukan sekadar satire. Ia adalah tanda zaman, sebuah semiotika tentang krisis kepercayaan publik terhadap lembaga yang seharusnya netral, tetapi justru tampak brutal, hipokrit, bahkan transparan dalam keberpihakan politik. Padahal, keterlibatan lembaga negara dalam ranah politik praktis jelas kontraproduktif dan inkonstitusional. Di sinilah Parcok menemukan maknanya: kritik yang tajam terhadap deviasi kuasa.
Namun, Parcok hanyalah satu sisi dari drama politik. Di sisi lain, hadir pula istilah “Parjo”, sebuah antitesa sekaligus figur imajiner yang mencerminkan bayang-bayang masa lalu. Parjo bukanlah tokoh tunggal, melainkan representasi dari karakter politik lama yang sarat intrik, penuh tipu daya, dan berkelindan dengan jejak “darah merah” sejarah. Publik menduga, intrik-intrik politik yang meletup pada peristiwa anarkis di penghujung Agustus hingga awal September 2025, tak lepas dari jejak Parjo ini.
Secara historis-sosiologis, pola gerakan Parjo tidak asing. Ia mengingatkan kita pada strategi divide et impera, hipokrisi, hingga playing victim yang pernah menjadi bagian dari skenario politik kelam bangsa. Bahkan, bila ditarik ke belakang, tak sulit menemukan benang merah dengan pola gerakan tempo doeloe yang berujung pada tragedi nasional. Maka, tidak berlebihan bila publik menghubungkan Parjo dengan “kloning-kloning politik” yang mencoba merebut ruang kekuasaan melalui rekayasa, chaos, dan legitimasi semu.
Ironisnya, di tengah situasi keruh itu, muncul figur-figur yang hendak ditampilkan bak pahlawan. Misalnya, kehadiran Gibran dalam pusaran kerusuhan ojolian politik tempo hari. Alih-alih menenangkan, fenomena ini justru mempertebal kesan bahwa ada skenario besar yang sedang dimainkan. Apalagi ketika tuntutan-tuntutan keras muncul, ditujukan langsung kepada Presiden Prabowo agar mundur dari jabatannya, padahal belum genap satu tahun memimpin. Sebuah tuntutan yang terkesan emosional, intuitif, bahkan tidak logis.
Jika ditelisik lebih jauh, keterpurukan bangsa hari ini tidak lahir dari kepemimpinan Prabowo yang masih seumur jagung, melainkan merupakan residu dari kepemimpinan sebelumnya. Sosok Parjo, yang pernah bercokol di kursi RI-1, justru meninggalkan jejak kegagalan yang merembes ke sektor-sektor vital negara: ekonomi, hukum, hingga mentalitas kepemimpinan. Maka tuntutan mundur seharusnya diarahkan bukan kepada Prabowo, tetapi kepada para petinggi Parcok yang gagal mengendalikan aparat di lapangan hingga memicu korban jiwa, luka, dan kerusakan harta benda.
Dari berbagai data empiris, ada indikasi bahwa Parcok dan Parjo tidak berdiri sendiri. Keduanya justru saling berkelindan, bahu-membahu, menjadi bagian dari jaringan kekuasaan yang berakar di partai politik tertentu. Dari hulu hingga hilir, mereka tampak memaksakan sebuah “ejakulasi dini politik”—sebuah ambisi prematur untuk kembali berkuasa dengan segala cara.
Maka, kisah politik Indonesia hari ini sesungguhnya adalah kisah Prabowo yang terhimpit di antara Parcok dan Parjo. Dua kutub yang sama-sama problematis, sama-sama menyimpan residu masa lalu, tetapi kini hadir kembali dalam wajah baru.
Akhirnya, sejarah politik Indonesia mencatat: Parcok dan Parjo bukan sekadar istilah, melainkan cermin dari tragedi kekuasaan yang terus berulang. Pertanyaannya, apakah Prabowo mampu keluar dari pusaran ini, atau justru menjadi bagian dari drama lama yang terus diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya?
Akhirnya, sejarah politik Indonesia mencatat: Parcok dan Parjo bukan sekadar istilah, melainkan cermin dari tragedi kekuasaan yang terus berulang. Pertanyaannya, apakah Prabowo mampu keluar dari pusaran ini, atau justru menjadi bagian dari drama lama yang terus diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya?
Sebab, jika Prabowo gagal menegaskan jarak dari Parcok dan Parjo, maka ia akan dicatat bukan sebagai penyelamat bangsa, melainkan hanya sebagai aktor pengganti dalam sandiwara lama. Dan tragedi itu akan berulang, dengan korban yang selalu sama: rakyat Indonesia.
Penulis adalah Advokat-Jurnalis, Anggota Dewan Penasihat DPP KAI, Kabidhum HAM, dan Ketua LPBH DPP KWRI