Oleh: Entang Sastraatmadja
Kebijakan pupuk bersubsidi di Indonesia lahir dari sebuah kebutuhan mendesak: bagaimana memastikan petani mampu meningkatkan produktivitas tanpa harus terbebani harga pupuk yang kian melambung. Pupuk adalah nyawa pertanian. Tanpa ketersediaan yang cukup dan terjangkau, sulit membayangkan petani sanggup menggarap lahannya secara optimal. Di titik inilah, negara mengambil peran: hadir dengan memberikan subsidi, sebuah instrumen yang diharapkan bisa menjadi jalan bagi kemakmuran petani sekaligus menjaga ketahanan pangan nasional.
Namun, di balik niat mulia itu, tersimpan problematika yang tak bisa diabaikan.
Pemerintah memang sudah menegaskan prioritasnya pada sembilan komoditas utama—mulai dari padi hingga kakao—dan membatasi sasaran program pada petani dengan lahan maksimal dua hektare. Jenis pupuk pun dipersempit hanya pada Urea dan NPK, dua pupuk makro esensial yang diyakini cukup menopang produktivitas. Penyalurannya kini lebih terkontrol dengan aplikasi iPubers, yang membuat petani hanya perlu membawa KTP untuk menebus jatah pupuk. Dari segi tata kelola, perubahan ini patut diapresiasi.
Meski demikian, jalan menuju efektivitas kebijakan pupuk bersubsidi masih panjang. Ada banyak faktor eksternal yang mengguncang fondasi kebijakan ini. Perang Rusia–Ukraina, misalnya, memengaruhi ketersediaan dan harga pupuk dunia. Kedua negara tersebut adalah pemasok penting fosfat dan kalium, bahan utama dalam produksi pupuk. Dampaknya jelas: Indonesia ikut terimbas oleh gejolak pasar global. Pemerintah pun menyesuaikan berbagai regulasi, termasuk Peraturan Menteri Pertanian terbaru, yang mengatur alokasi dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi.
Pemerintah bahkan menambah alokasi pupuk hingga 9,55 juta ton pada 2024, menandakan betapa tingginya ketergantungan petani terhadap program ini. Di satu sisi, tambahan alokasi tersebut menunjukkan kepedulian pemerintah. Namun, di sisi lain, ia juga mengungkapkan sebuah ironi: produktivitas pertanian kita masih sangat bergantung pada subsidi negara.
Kebijakan pupuk bersubsidi memang memberi dampak nyata. Produktivitas meningkat, hasil panen naik, dan pendapatan petani terdongkrak. Banyak keluarga petani yang bisa bernapas lebih lega berkat harga pupuk yang lebih terjangkau. Tetapi pertanyaan mendasarnya: sampai kapan subsidi ini akan mampu menopang?
Subsidi yang berlarut-larut berisiko menciptakan ketergantungan. Petani bisa jadi terjebak pada pola pikir instan: bahwa pupuk murah adalah hak, bukan sekadar insentif. Ketika subsidi dihentikan atau dikurangi, mereka mungkin tak mampu bertahan. Selain itu, penggunaan pupuk yang berlebihan tanpa pemahaman ekologis bisa menimbulkan bumerang berupa degradasi lahan, pencemaran tanah, dan kerusakan lingkungan yang jauh lebih mahal ongkosnya di masa depan.
Di sinilah letak paradoks pupuk bersubsidi: ia bisa menjadi jalan kemakmuran, sekaligus jebakan yang melemahkan kemandirian. Kebijakan ini tak boleh berjalan sendiri. Ia perlu disandingkan dengan program lain yang lebih berorientasi pada pertanian berkelanjutan: pengembangan pupuk organik, edukasi petani soal pemupukan berimbang, hingga investasi dalam riset tanah dan teknologi pertanian ramah lingkungan.
Akhirnya, pupuk bersubsidi hanyalah sebuah alat, bukan tujuan. Ia bisa membuka pintu kemakmuran, tetapi juga bisa menjadi jerat yang mengekalkan ketergantungan. Tugas negara adalah memastikan agar kebijakan ini tidak berhenti pada sekadar distribusi pupuk murah, melainkan benar-benar mendorong transformasi pertanian Indonesia menuju kemandirian dan keberlanjutan.
(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)