Dalam politik Indonesia, quick wins menjadi semacam “jurus instan” untuk mencuri hati rakyat. Langkah cepat, manfaat langsung, dan kesan konkret menjadi senjata politik yang efektif. Masalahnya, strategi ini sering berhenti pada level permukaan: menutup rasa sakit tanpa mengobati penyakit. Fenomena ini kerap disebut sebagai politik karitatif—politik yang sibuk memberi bantuan sesaat tetapi gagal menyentuh akar masalah.
Quick Wins dalam MBG
Program MBG tampak tak lepas dari jebakan ini. Dengan berbagai inisiatifnya, MBG menghadirkan kebijakan yang mudah dirasakan masyarakat: bantuan tunai, subsidi, atau fasilitas instan yang dapat segera dipakai. Secara komunikasi politik, strategi ini berhasil: rakyat merasa diperhatikan, sementara pemerintah mendapat legitimasi sebagai pemimpin yang peduli.
Namun, di balik kesan positif itu, problem fundamental tetap tak terselesaikan. Pendidikan masih timpang, sektor pertanian tetap rapuh, lapangan kerja baru tak tumbuh signifikan, dan jurang kesenjangan melebar. MBG dengan quick wins-nya lebih mirip obat bius ketimbang terapi penyembuhan.
Jejak Era Jokowi: Politik Karitatif yang Menjadi Pola
Pola ini sebenarnya bukan hal baru. Era Jokowi sarat dengan pendekatan quick wins. Kita bisa melihatnya dari program bansos yang begitu masif, seolah menjadi jawaban segala persoalan. Setiap menjelang momentum politik, bantuan langsung digelontorkan, menciptakan citra “pemimpin merakyat.”
Padahal, bansos yang karitatif tidak memperkuat struktur ekonomi rakyat. Petani tetap harus impor pupuk, nelayan tetap tergantung cuaca, dan masyarakat miskin tetap bergantung pada bantuan berikutnya. Di sisi lain, proyek-proyek mercusuar seperti IKN juga bisa dibaca sebagai quick wins versi berbeda: pembangunan fisik yang dapat difoto, dipamerkan, dan dijual ke publik sebagai bukti kerja besar, meskipun meninggalkan pertanyaan soal relevansi dan beban utang negara.
Era Jokowi mengajarkan bahwa quick wins bisa menjaga stabilitas politik, tetapi gagal melahirkan fondasi yang kokoh bagi pembangunan jangka panjang.
MBG dan Tantangan Keluar dari Jebakan Karitatif
Jika MBG hanya menyalin pola Jokowi, ia akan mengulangi kesalahan yang sama: memperbanyak etalase politik tetapi miskin substansi. Rakyat butuh lebih dari sekadar dibantu—mereka butuh diberdayakan. Bantuan tunai bisa jadi perlu, tetapi harus diiringi dengan transformasi struktural: pendidikan yang merata, industrialisasi berbasis sumber daya lokal, serta kebijakan yang melindungi kepentingan rakyat banyak, bukan hanya elite dan kroni.
Penutup
Quick wins dan politik karitatif memang menggoda. Mereka cepat, instan, dan mampu dijual secara politik. Tetapi dalam jangka panjang, pola ini adalah jebakan. Program MBG berisiko hanya menjadi “tiruan” dari era Jokowi: sarat pencitraan, miskin transformasi.
Politik seharusnya tidak berhenti pada memberi “ikan” atau membangun monumen, melainkan menciptakan sistem yang membuat rakyat mandiri dan bermartabat. Jika tidak, MBG hanya akan menambah daftar panjang kisah politik instan Indonesia: penuh tepuk tangan, tetapi kosong makna.