Fusilatnews – Kok bisa? Itu pertanyaan paling sederhana sekaligus paling menyakitkan yang bisa diajukan ketika kita menatap wajah republik ini. Kok bisa Jokowi—dengan segala kontroversi, ijazah yang tak pernah jelas, dan gaya kepemimpinan yang penuh manipulasi—bisa naik menjadi presiden, bukan sekali, tapi dua kali? Kok bisa Gibran, yang pengalaman politiknya setipis kertas undangan pernikahan, mendadak menjadi wakil presiden, bahkan sebelum ia matang sebagai pemimpin daerah?
Kok bisa Prabowo, yang dulu berteriak lantang sebagai oposisi, justru kini terperangkap dalam jejaring Jokowi yang sebenarnya sudah tak punya kekuatan apapun? Di atas kertas, Prabowo adalah presiden yang sah dan penuh legitimasi, tapi di balik layar, bayangan Jokowi tetap membayanginya—seolah kekuasaan negeri ini diwariskan seperti kursi empuk keluarga besar.
Kok bisa negara sebesar ini terus diatur oleh oligarki, oleh segelintir orang yang lebih peduli pada bisnis tambang, izin konsesi, dan rente politik, ketimbang nasib rakyat? Kok bisa korupsi berjalan masif, maling uang rakyat beroperasi dengan metode yang extra ordinary, dan hukum hanya menjadi teater murahan di ruang sidang?
Dan yang lebih tragis: kok bisa rakyat—yang saban hari dicekik harga, dipermainkan kebijakan, dan dipaksa percaya pada sandiwara—tetap diam, seolah tidak ada apa-apa? Bahkan para intelektual, yang mestinya jadi mercusuar akal sehat, lebih suka bungkam atau sibuk berkomentar di ruang privat. Negara ini rusak, tapi kita tetap berpura-pura “baik-baik saja.”
Kok bisa KPK—yang dulu digadang sebagai benteng terakhir melawan korupsi—berubah menjadi lembaga yang ompong? Kok bisa revisi UU yang melemahkannya tetap dibiarkan, padahal semua orang tahu, hanya dengan mengembalikannya ke posisi independen KPK bisa bernapas lagi? Apakah semudah itu bangsa ini menyerah, sampai tak berani menuntut apa yang dulu pernah dianggap suci?
Politik kita ibarat pasien kanker stadium akhir yang masih dipaksa lari maraton. Tubuhnya penuh luka, tapi mulutnya tetap bilang: “saya baik-baik saja.” Dan kita, rakyat, dokter, bahkan intelektual, justru ikut mengangguk, pura-pura percaya pada kebohongan yang makin lama makin mematikan.
Sekarang, bola ada di tangan Presiden Prabowo. Apakah ia akan jadi dokter yang berani mengobati, atau justru perawat yang sibuk menutup selimut sambil bilang pasiennya sehat? Jika ia memilih diam, membiarkan segala luka yang ditinggalkan rezim sebelumnya, maka Prabowo hanya akan tercatat sebagai bagian dari penyakit itu sendiri.
Sejarah tak pernah berbelas kasih: presiden yang tidak berani menyembuhkan akan dianggap sebagai penyebab kematian.