Oleh: Prihandoyo Kuswanto
Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
PENDAHULUAN
Perubahan di negeri ini akan terjadi dengan sendirinya. Sebab, ketika ketidakadilan telah menindas bangsa, rakyat akan bangkit melakukan perlawanan terhadap kezaliman.
Bagi Ir. Soekarno, perjuangan bangsa Indonesia bukan hanya melawan penjajah asing, melainkan juga menentang penindasan manusia atas manusia.
Sering kali persoalan bangsa dianggap dapat diselesaikan hanya dengan kekuasaan dan politik. Namun, ketika masalah kroni dan korupsi muncul, maka diciptakanlah pusat perhatian baru untuk menutupinya.
Demonstrasi yang berujung anarkis, membakar fasilitas umum, hingga menelan sembilan korban jiwa, menjadi bukti adanya agitasi yang terus digencarkan melalui media daring. Bahkan, sebagian diaspora terlibat dalam aksi yang sudah masuk kategori makar.
Ironisnya, ada ustaz yang melalui podcast justru menginginkan Indonesia mengalami nasib seperti Nepal. Padahal Nepal, dengan jumlah penduduk sekitar 30 juta jiwa, hanya terdiri dari satu suku mayoritas Hindu, dan bisa dikuasai agen asing global dengan dana 16,5 triliun rupiah saja.
REVOLUSI WARNA YANG MEREKA INGINKAN
Revolusi Warna yang diusung NGO–NGO dengan pendanaan asing mulai terlihat semakin jelas. Kejadian hari ini bukanlah peristiwa tiba-tiba, melainkan bagian dari cipta kondisi yang sudah dirancang sejak peringatan kemerdekaan ke-80.
Aksi mahasiswa di depan Gedung DPR beberapa waktu lalu menarik perhatian karena simbol yang mereka bawa. Banyak peserta mengibarkan bendera One Piece, ikon bajak laut bertopi jerami dalam dunia anime, yang dikenal sebagai simbol perlawanan, kebebasan, dan solidaritas.
Bendera ini merujuk pada kisah Luffy dan kru Topi Jerami yang berjuang melawan tirani, melindungi sahabat, serta memperjuangkan impian dan keadilan. Tidak hanya itu, kelompok Tentara Revolusi yang dipimpin Monkey D. Dragon—ayah Luffy—juga digambarkan melawan pemerintahan yang menindas rakyat.
Selain One Piece, berbagai anime lain juga mengangkat tema revolusi, solidaritas, dan perlawanan terhadap tirani. Narasi seperti “Indonesia Gelap” dan ajakan meninggalkan tanah air untuk bekerja di luar negeri merupakan bagian dari skenario cipta kondisi. Sayangnya, kewaspadaan nasional kita kian pudar.
PRABOWO MEMBERI RUANG KEPADA DEMONSTRAN
Bagi yang berpikir jernih, arah gerakan ini sudah jelas: makar yang bertujuan membuat negara kacau. Agenda global menginginkan perubahan di Indonesia agar kekayaan tambang bisa dikuasai.
Namun, Indonesia yang kini dipimpin Presiden Prabowo berani melakukan pembersihan terhadap koruptor yang selama ini tak tersentuh, termasuk mafia migas yang berkolusi dengan pemerintahan sebelumnya. Oligarki “Sembilan Naga” dan korporasi yang membuat Indonesia terpuruk mulai dibenahi. Prabowo jelas berpihak pada rakyat. Meski tidak bisa frontal, secara perlahan orang-orang lama mulai disingkirkan. Kita tunggu saja reshuffle kabinet berikutnya.
Persoalan tanah juga krusial. Bagaimana mungkin korporasi menguasai jutaan hektare lahan? Ada yang menguasai ratusan ribu hektare, hingga 74% tanah dikuasai oleh 0,10% korporasi. Padahal UU No. 25 Tahun 1960 tentang Tata Kelola Agraria hanya memberikan HGU maksimal 25 hektare dalam jangka 35 tahun, diperpanjang 25 tahun.
Jika ada korporasi yang menguasai lebih dari 25 hektare, jelas ilegal. Pejabat yang memberikan izin hingga jutaan hektare, seperti pada kasus Sinar Mas dan Agung Sedayu Group, harus dibawa ke pengadilan. Jika pengadilan formal tak mampu, maka pengadilan rakyat bisa menjadi jalan.
KESALAHAN TERBESAR: MENGUNDANG CHINA MENGERUK KEKAYAAN NEGERI
Bung Karno pernah berpesan:
“Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia agar bangsa ini sendiri yang mengelolanya. Biar negara-negara besar iri, tapi hanya bangsa Indonesia yang berhak menikmatinya.”
Ironisnya, justru pada era Jokowi dan PDIP, China diundang untuk mengeruk kekayaan Ibu Pertiwi. Bahkan, lima juta ton bijih nikel diselundupkan ke China, dan kasusnya hingga kini tak jelas ujungnya.
Soekarno juga berpesan:
“Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan sandang dan pangan di tanah air yang kaya ini, maka sesungguhnya kita sendiri yang tolol.”
Hari ini, kebutuhan pangan, sandang, hingga tenaga medis masih bergantung pada impor. Gambaran nyata dari DPR kita yang “tolol”, lebih sibuk berjoget ketimbang bekerja untuk rakyat.
PRESIDEN PRABOWO DAN EKONOMI KERAKYATAN
Perubahan atas kedaulatan tanah air yang dikuasai konglomerat hanya bisa dilakukan oleh Presiden Prabowo. Tujuannya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang tidak diinginkan asing, karena akan merugikan bisnis mereka yang mengandalkan perusahaan cangkang di Singapura.
Setiap tahun, sekitar 1.000 triliun rupiah uang ilegal Indonesia lari ke Singapura. Hal ini kini mulai diberantas oleh Prabowo. Siapa pejabat di balik praktik ini, lambat laun akan terungkap.
Tanah-tanah yang dikuasai korporasi tanpa membayar pajak atau menggunakan izin ilegal mulai ditertibkan dan diambil alih pemerintah.
NEGARA INI HARUS KEMBALI KE UUD 1945
Kita tidak bisa menerima pernyataan Jokowi bahwa kepemimpinan harus bersifat estafet. Perubahan akan terjadi ketika tujuan bernegara sudah melenceng. Sejak UUD 1945 diamandemen menjadi UUD 2002, nilai-nilai Pancasila mulai ditinggalkan.
Negara Pancasila berubah menjadi negara demokrasi liberal yang berbasis individualisme. Pemilu, pilpres, hingga pilkada hanya memperkokoh sistem oligarki. Bahkan, ancaman jika pemilu ditunda dipolitisasi dengan narasi “menyelamatkan demokrasi liberal.”
RAKYAT INGIN KEMBALI KEPADA PANCASILA DAN UUD 1945
Perubahan yang diinginkan rakyat adalah mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Musyawarah mufakat harus kembali menjadi roh demokrasi, bukan sekadar pemilu liberal.
Sejarah membuktikan, MPR dibentuk sebagai lembaga tertinggi negara untuk mewakili seluruh elemen bangsa. Komposisinya: sepertiga partai politik, sepertiga utusan golongan, dan sepertiga utusan daerah (termasuk raja dan kesultanan). Dengan demikian, MPR benar-benar menjadi perwujudan kedaulatan rakyat.
Tugas MPR adalah menetapkan GBHN sebagai bintang penunjuk arah, sementara presiden dipilih untuk menjalankannya, bukan untuk membawa agenda politik pribadi.
Keputusan presiden yang memulihkan PKI sebagai korban pelanggaran HAM berat jelas melanggar hukum, karena PKI telah dibubarkan. Jika dipulihkan, berarti PKI bisa hidup kembali. Aneh, tidak ada yang berani protes.
KESIMPULAN
Kekacauan negeri ini berawal dari kudeta konstitusi melalui amandemen UUD 1945. Sejak itu, negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 secara hakikat telah bubar. UUD 2002 yang merubah 97% isi UUD 1945 tetap diklaim sebagai UUD 1945, padahal sejatinya undang-undang baru.
Oleh karena itu, seluruh keputusan hukum pasca-amandemen menjadi cacat. Jalan penyelamatan Indonesia adalah kembali pada UUD 1945 dan Pancasila.
Jika ingin menyelamatkan bangsa ke depan, Presiden Prabowo perlu mengeluarkan dekrit, sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959, untuk mengembalikan Indonesia pada jati diri yang asli.