Yus Dharman, SH., MM., M.Kn
Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI
(Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)
Jakarta, 19 September 2025 – Persentase aset koruptor yang berhasil dirampas negara di Indonesia masih sangat rendah, hanya berkisar 12,20% hingga 22% dari total kerugian negara sepanjang 2013–2024. Angka ini menunjukkan betapa lemahnya instrumen hukum yang ada dalam mengembalikan kekayaan negara yang dicuri.
Karena itu, kehadiran RUU Perampasan Aset menjadi harapan baru. Instrumen hukum ini diyakini mampu mempercepat pemulihan aset hasil korupsi. Namun, agar lebih solid dan tidak setengah hati, RUU tersebut perlu diperkuat dengan pembuktian terbalik serta RUU Pembatasan Transaksi Tunai di atas Rp 10 juta, sehingga proses pengawasan dapat dilakukan secara lebih efektif.
Sudah menjadi rahasia umum, lambannya proses peradilan Tipikor selama ini memberi peluang bagi tersangka korupsi untuk menyembunyikan hasil kejahatan melalui pihak ketiga. Alhasil, jejak aset semakin sulit dilacak.
Maksud dan tujuan RUU Perampasan Aset adalah menghadirkan hukum yang tajam kepada pencuri uang rakyat. Namun, ketajaman itu tidak boleh mengorbankan keadilan prosedural. Sebab, efektivitas yang tidak ditopang legalitas justru berisiko menjadi jalan pintas berbahaya, yang berpotensi menabrak prinsip keadilan dan mengaburkan batas antara penegakan hukum dan penyalahgunaan wewenang.
Ke depan, RUU ini harus menjadi tonggak reformasi hukum yang progresif—bukan justru menjelma sebagai alat kekuasaan yang represif. Oleh karenanya, selain diikuti pembuktian terbalik yang menggeser beban pembuktian kepada terdakwa, RUU ini juga harus bertujuan mempercepat pengembalian aset hasil korupsi. Dukungan dari RUU Pembatasan Transaksi Tunai di atas Rp 10 juta menjadi krusial untuk menutup celah korupsi baru, termasuk oleh oknum aparat penegak hukum.
Tanpa pembatasan transaksi tunai, RUU Perampasan Aset belum tentu mampu menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana menjamin aset rampasan benar-benar dikembalikan ke negara? Faktanya, sering kali aset rampasan justru mengendap di birokrasi atau menjadi bancakan antar lembaga. Di sinilah pentingnya desain kelembagaan yang mampu menegakkan hukum sekaligus mengelola hasil rampasan secara produktif dan berkeadilan sosial, sesuai amanat sila kelima Pancasila.
Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa pembatasan transaksi tunai erat kaitannya dengan pencegahan korupsi. Alasannya:
- Mengurangi ruang transaksi ilegal seperti suap dan pencucian uang, karena transaksi besar dalam bentuk tunai sulit dilacak.
- Mendorong penggunaan sistem keuangan resmi yang lebih transparan dan mudah ditelusuri.
- Menutup peluang praktik politik uang dalam pemilu maupun pilkada, sehingga mencegah lahirnya “koruptor baru” dari ruang politik.
- Meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi peluang penyembunyian uang hasil korupsi.
Namun, di balik semangat reformasi hukum, ada prinsip yang tak boleh ditawar: hukum bukan sekadar alat kekuasaan, melainkan fondasi etis yang menjamin hak-hak warga negara serta menyeimbangkan kekuasaan dengan keadilan. Hukum harus menjaga harmoni sosial, bukan menciptakan bentuk ketidakadilan baru.
Sebagaimana dikemukakan Brun (2011) dalam World Bank Asset Recovery Handbook:
“Asset recovery must be anchored in legal certainty and institutional integrity.”
Tanpa itu, upaya perampasan aset hanya akan mengganti satu bentuk ketidakadilan dengan ketidakadilan lain.
Lebih jauh, urgensi RUU Perampasan Aset sesungguhnya mengandung esensi pergeseran dari retributive justice ke restorative justice. Hukum tidak semata menghukum, melainkan juga memulihkan. Dan pemulihan itu harus menyasar masyarakat luas yang selama ini menjadi korban struktural dari korupsi dan ketimpangan.