Fusilatnews – Nama Bahlil Lahadalia kembali menjadi sorotan publik. Kali ini bukan soal prestasi, melainkan karena dua hal mendasar yang menyentuh inti seorang pejabat negara: integritas diri dan kinerja sebagai menteri.
Pertama, publik masih ingat kasus dugaan manipulasi akademik yang menyeret Bahlil dalam isu gelar doktoral S3 Universitas Indonesia. Kasus itu bukan sekadar polemik administratif, melainkan problem moral. Bagaimana mungkin seorang pejabat publik yang mengemban amanah strategis justru diragukan integritas akademiknya? Jika di ruang pendidikan saja ada tanda tanya besar, bagaimana publik bisa percaya pada kebijakan yang ia hasilkan untuk kepentingan bangsa? Integritas adalah fondasi. Tanpa itu, setiap kebijakan akan selalu dicurigai sarat kepentingan pribadi atau kelompok.
Kedua, persoalan kinerja. Sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil kini menghadapi badai kritik akibat kelangkaan BBM di SPBU swasta.Fsuilatnews mencatat, sepanjang September 2025, diskursus publik di media sosial memunculkan sentimen negatif yang mendominasi—lebih dari 82,9 persen (Catatan Litbang Kompas). Ini angka yang tidak bisa disepelekan.
Warganet menilai kebijakan Bahlil lebih mengutamakan PT Pertamina ketimbang mendorong iklim persaingan sehat. Kebijakan impor BBM satu pintu melalui Pertamina, hingga pernyataan agar SPBU swasta membeli BBM dari perusahaan pelat merah tersebut, menimbulkan kecurigaan adanya upaya monopoli. Padahal, kehadiran Shell, BP, dan Vivo diharapkan menjadi angin segar untuk layanan lebih baik bagi konsumen.
Faktanya, kelangkaan BBM di SPBU swasta sejak akhir Agustus memperlihatkan rapuhnya kebijakan ini. Konsumen dirugikan. SPBU swasta diposisikan lemah, sementara Pertamina menguasai panggung. Celakanya, publik juga semakin tidak percaya dengan kualitas BBM produk Pertamina—sentimen negatif terhadap mutu produk mencapai 88,6 persen.
Kebijakan yang lahir dari logika monopoli dan perlindungan berlebihan pada BUMN tidak hanya merugikan konsumen, tapi juga membunuh prinsip dasar pasar yang sehat. Apalagi, jika dilihat lebih jauh, kebijakan itu justru menambah beban negara. Pertamina kembali harus mengimpor BBM untuk kemudian dijual ke swasta, padahal selama ini Indonesia sudah menghadapi defisit neraca migas yang kronis.
Dua catatan inilah—integritas diri yang compang-camping dan kinerja publik yang gagal—yang menjadikan posisi Bahlil semakin sulit dipertahankan. Publik sudah kehilangan kepercayaan, sementara kritik mengalir deras.
Seorang pejabat negara seharusnya hadir untuk menyelesaikan masalah, bukan menambah kerumitan. Ia harus membela kepentingan rakyat, bukan memperbesar kuasa korporasi tertentu. Ia harus memberi contoh moral, bukan menghadirkan tanda tanya.
Saatnya Bahlil dituntut mundur. Bukan sekadar demi menjaga wibawa Kementerian ESDM, tetapi juga demi memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Negara ini tidak boleh terus dipimpin oleh mereka yang kehilangan arah integritas dan gagal dalam kinerja.