OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Sabang bukan hanya pintu paling barat Indonesia—ia adalah titik nol martabat pangan bangsa. Namun ironis, justru di tanah yang seharusnya menjadi benteng kedaulatan, ditemukan 250 ton beras impor ilegal, tersimpan rapi dalam gudang swasta PT Multazam Sabang Group dan kini disegel aparat. Kasus ini bukan sekadar tindak pidana, tetapi tamparan keras bagi ambisi besar Indonesia: berhenti impor beras pada 2025 dan memproklamirkan swasembada 31 Desember 2025.
Istilah dalang impor beras bukan tokoh pewayangan, meski cara kerjanya mirip: beroperasi di belakang layar, menggerakkan aktor-aktor lain, memanfaatkan otoritas, dan mengambil keuntungan di panggung gelap. Dalam konteks Sabang, dalang itu bisa berwujud:
Pengusaha pemilik perusahaan yang merancang pola impor dan distribusi,
Pejabat atau petugas pemerintah yang mulutnya bicara nasionalisme, tapi tangannya membuka kontainer gelap,
Sindikat kriminal yang memainkan jalur tikus perdagangan lintas negara,
bahkan mereka yang memakai dokumen palsu, suap, atau celah pengawasan sebagai “naskah skenario”.
Mereka bukan sekadar pelaku—mereka adalah pengkhianat pangan, figur yang, menurut banyak pihak, telah kehilangan denyut nasionalisme dan patriotisme.
Kenapa Sabang? Kenapa ilegal?
Jawabannya sederhana, namun pahit:
Keuntungan ekonomi menggiurkan – Beras selundupan itu dijual Rp9.800–Rp11.000/kg, lebih murah dari lokal Rp12.500–Rp13.500/kg. Selisih harganya adalah margin gelap, ladang emas bagi mafia, namun lubang neraka bagi petani.
Klaim stok nasional aman – Pemerintah menyatakan stok 4 juta ton, bahkan 4 juta ton lebih. Jika benar, lalu impor ini atas perintah siapa? Untuk kebutuhan siapa?
Distribusi dan pengawasan rapuh – Saat radar pengawasan rendah dan penegakan hukum berlubang, perompak kerah putih merasa aman menurunkan jangkar.
Mentan Andi Amran Sulaiman sudah menunjukkan sinyal kuat: menggandeng aparat hukum, menghubungi Kapolda, Kabareskrim, dan Pangdam untuk akselerasi penindakan. Politically, niatnya jelas: membongkar jaringan ini sampai ke akarnya. Tapi publik butuh lebih dari sekadar segel gudang—publik ingin nama, aktor utama, dan jaringan kuasanya.
Dalang harus ditemukan, bukan hanya dikejar
Karena yang sedang diburu di Sabang bukan pencopet, melainkan otak jaringan kejahatan kerah putih — yang biasanya:
punya akses jabatan dan logistik,
licin dari jeratan administratif,
dan alergi kamera, bukan hukum.
Maka perlu kerja intelijen pangan, bukan sekadar razia gudang.
Jika target 2025 gagal diamankan, maka swasembada hanya wayang
Tanpa penindakan total terhadap dalangnya, target berhenti impor 2025 bisa disabotase dari dalam: bukan melalui kebijakan, tetapi melalui tindakan senyap. Sabang membuktikan, larangan impor tidak otomatis menghentikan importir jika penggeraknya masih bebas.
Sekarang pemerintah sedang mencari Siapa yang menggerakkan? Siapa yang memberi restu? Siapa yang mendapat untung?
Pertanyaan yang lebih tajam justru adalah:
Apakah ini kejahatan ekonomi biasa, atau operasi terstruktur yang memanfaatkan kelengahan negara?
Sabang bukan sekadar TKP—ia adalah alarm pangan nasional
Kasus 250 ton ini kecil dari sisi volume, namun teramat besar dari sisi pesan: ada tangan kuat yang tak peduli pada target pemerintah, tak hormat pada keringat petani, dan tak takut pada garis batas kedaulatan.
Jika dalangnya tak ditemukan, yang akan disegel bukan hanya gudang—tetapi juga kepercayaan rakyat pada ikrar Indonesia bebas impor beras.
PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT
























