Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Pertanyaan publik mengenai “apakah benar materai pada 15 ijazah saksi UGM berwarna hijau?” sejatinya telah terjawab: jika seluruh pola materai pada ijazah tersebut benar berwarna hijau, maka ijazah itu tidak sah. Dengan demikian, kelimabelas saksi dapat terindikasi memberikan keterangan palsu, karena membawa bukti yang keliru sejak awal.
Padahal, menurut ketentuan KUHAP, dua orang saksi yang mengetahui, mengalami, dan melihat langsung peristiwa yang dilaporkan sudah cukup untuk membuktikan dugaan tindak pidana.
Lalu, mengapa harus menghadirkan puluhan saksi?
Dan pertanyaan yang lebih mendasar:
Mengapa tidak cukup menghadirkan sekitar 40 mahasiswa satu kelas, satu angkatan, Fakultas Kehutanan UGM 1980–1985, yang dikatakan masih hidup? Apakah benar yang tersisa hanya 15 orang saja?
Dalam konteks asas good governance, terutama yang wajib dipatuhi ASN, penyelenggara negara, dan pejabat publik—yakni asas transparansi, profesionalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas—maka Penyidik Polri berkewajiban menjunjung asas tersebut, sesuai perintah KUHAP dan Undang-Undang Polri. Apalagi lembaga kepolisian selalu mengusung slogan Presisi.
Karena itu, Penyidik Polri harus memperlihatkan hasil laboratorium forensik digital terhadap ijazah Jokowi, baik kepada publik, kepada delapan tersangka, maupun kepada para pelapor TPUA yang menduga ijazah UGM Jokowi palsu (9 Desember 2024). Pembandingan dengan ijazah yang sah dari tahun yang sama—atau dokumen bermeterai sesuai standar resmi tahun 1985—sangat mudah dilakukan karena materai tersebut tentu banyak digunakan pada transaksi perbankan, dokumen bisnis, atau ijazah kampus lain pada masa itu.
Perlu ditegaskan, asas good governance tidak hanya berlaku di ruang sidang, melainkan sejak pertama kali laporan diterima oleh penyidik. Jika asas transparansi dan asas-asas lainnya diabaikan sejak awal, maka kepastian hukum dan keadilan mustahil diharapkan lahir dari proses tersebut.
Damai Hari Lubis
























