Sehina-hinanya kekuasaan ialah ketika ia menjelma jadi milik pribadi. Jokowi, baru beberapa bulan meninggalkan istana, sudah memberi arahan kepada Projo: dukung Prabowo–Gibran dua periode. Sebuah sikap yang tak hanya arogan, tapi juga menyingkap kerak batin kekuasaan yang tak rela berakhir.
Dalam bahasa kultural, itulah ujub. Dalam semiotika agama, lebih parah lagi: mendahului qodarullah. Seakan nasib bangsa bukan urusan Tuhan, melainkan urusan seorang pensiunan presiden yang ingin anaknya tetap berkuasa.
Alasan yang digembar-gemborkan—stabilitas, pembangunan, kesinambungan—tak lebih dari tabir tipis. Substansinya hanya satu: proteksi bagi dirinya. Agar Gibran bertahan di singgasana, dan dengannya, segala kemungkinan tuntutan atas kedzaliman sepuluh tahun terakhir bisa dipendam.
Di sini kekuasaan kehilangan rupa republik. Ia kembali ke bentuk paling purba: keluarga. Bukan mandat rakyat, melainkan warisan dinasti. Jokowi tak lagi tampil sebagai orang tua bangsa, melainkan makelar politik yang menjajakan masa depan demi keselamatan diri.
Ironisnya, Presiden Prabowo sendiri sontak mengingatkan agar wacana dua periode disimpan dalam hati. Di hadapan kader muda Gerindra ia berkata:
“Niat itu silakan disimpan dalam hati. Tapi saya sudah katakan, nanti yang menentukan apakah Prabowo 2 periode atau tidak, selain Yang Maha Kuasa, Prabowo sendiri.”
Lebih jauh, ia bahkan menambahkan:
“Kalau saya menilai bahwa diri saya tidak mencapai apa yang saya canangkan, saya tidak mau maju lagi sebagai Presiden Republik Indonesia.”
Pernyataan itu menegaskan bahwa masa depan politik Prabowo bukanlah hasil teriakan relawan, apalagi arahan pensiunan presiden. Keputusan itu adalah hak dirinya—dan Tuhan. Di sinilah terlihat betapa ganjil dan konyolnya sikap Jokowi: mendikte arah sejarah yang bahkan tidak lagi berada di tangannya.
Sehina-hina Jokowi ialah di sini: ketika ia menjadikan kuasa sebagai tameng, bukan amanah. Ia mewariskan kebusukan politik yang menukar legitimasi dengan loyalitas keluarga. Ia memamerkan wajah kuasa yang pongah, yang tak kenal jeda, yang ingin mendikte sejarah hingga melampaui garis ajal.
Namun, bangsa ini masih punya pilihan. Rakyat tidak wajib menelan segala perintah bekas presiden yang tak tahu diri. Rakyat bisa menolak ujub yang membusuk itu, bisa mengingat kembali bahwa mandat politik bukan hak turun-temurun, melainkan titipan. Demokrasi hanya hidup jika rakyat menegaskan bahwa tak ada satu keluarga pun, betapapun berkuasanya, yang boleh menyalin dirinya menjadi nasib bangsa.
Dan barangkali, inilah saatnya kita belajar menertawakan segala keangkuhan itu. Sebab, betapa pun seorang penguasa merasa bisa mendahului qodarullah, sejarah selalu punya cara untuk menyingkap siapa yang sesungguhnya hina.