Fusilatnews – Di negara demokrasi, Menteri Pertahanan bukanlah komandan lapangan, melainkan perumus kebijakan. Namun ketika jabatan itu dipegang seorang jenderal, garis pemisah antara “kebijakan pertahanan” dan “operasi militer” sering kali kabur. Kebijakan Sjafrie Sjamsoeddin saat menjabat Menhan menjadi bukti nyata: militer cenderung melihat segala persoalan dengan kacamata keamanan, bukan demokrasi.
TNI Menjaga Gedung DPR: Simbol atau Ancaman?
Keputusan Menhan Sjafrie menempatkan prajurit TNI untuk menjaga Gedung DPR/MPR menuai polemik. Dalihnya, gedung parlemen adalah simbol kedaulatan negara. Tapi publik melihat sebaliknya: simbol demokrasi justru berubah menjadi simbol intimidasi.
Padahal, UU TNI secara tegas membatasi fungsi militer di ranah sipil. Tugas pengamanan demonstrasi dan gedung pemerintahan adalah ranah Polri, bukan TNI. Dengan menurunkan prajurit bersenjata ke jantung parlemen, pemerintah seolah lupa bahwa “militer tak mengenal demokrasi; mereka hanya mengenal komando.”
Akibatnya, parlemen yang mestinya menjadi ruang aspirasi rakyat berubah wajah. Bukan lagi rumah perwakilan, melainkan benteng yang dijaga senjata.
Bayang-Bayang Darurat Militer
Kontroversi itu makin membesar ketika isu rencana darurat militer mencuat. Meski TNI buru-buru membantah, fakta bahwa rumor itu bisa beredar luas menunjukkan rapuhnya batas antara pengamanan sipil dengan militerisasi negara. Publik wajar cemas, sebab sejarah membuktikan: begitu militer masuk terlalu jauh ke ranah sipil, demokrasi menjadi korban pertama.
Mengapa Harus Sipil
Dari sini kita paham, mengapa kursi Menhan idealnya diisi oleh sipil. Menteri sipil berfungsi sebagai pengawal supremasi sipil atas militer, memastikan tentara tetap profesional di barak dan tidak menjadi alat politik. Pertahanan bukan hanya soal perang, tetapi juga soal politik, diplomasi, dan kebijakan publik.
Supremasi sipil ini adalah prinsip demokrasi modern. Tanpanya, kekuasaan bersenjata bisa mengalahkan kedaulatan rakyat.
Penutup
Kasus Sjafrie Sjamsoeddin menjadi pelajaran penting: menempatkan militer di posisi politik strategis tanpa kontrol sipil berisiko menyeret demokrasi ke masa lalu. Menhan dari sipil bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan—agar senjata tetap berada di bawah kendali rakyat, bukan sebaliknya.
Karena pada akhirnya, pertahanan negara bukan soal siapa yang paling gagah memegang senjata, tetapi siapa yang paling bijak memastikan senjata itu tidak diarahkan ke rakyatnya sendiri.