Oleh: Jan Praba, Kartunis
Jakarta – Sore kemarin ada suasana yang berbeda di pintu masuk utama Bentara Budaya, Jakarta. Kesibukan tampak lebih riuh dari biasanya. Para pejabat dan pengurus mondar-mandir menyiapkan penyambutan, sebab dua tokoh besar Tanah Air, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Guruh Soekarnoputra, dijadwalkan hadir pada pameran lukisan bertajuk “Nada Merupa”.
Setelah acara seremonial dengan berbagai sambutan (tanpa lagu kebangsaan), saatnya berkeliling menikmati karya-karya yang ditampilkan. Dari puluhan karya yang terpampang, ada salah satu karya yang lebih menyita mata untuk lebih menelusuri maknanya.
Karya Sri Krishna Encik berjudul “Sengkuni (Asu-Asuan)” adalah satir visual yang tajam terhadap kondisi politik Indonesia.
Lukisan ini menyuguhkan simbolisasi tentang watak politisi yang buas, rakus, dan penuh tipu daya. Pemilihan nama Sengkuni menguatkan pesan: ia tokoh licik dalam epos Mahabharata, yang dihidupkan kembali dalam wujud politisi modern.
Dengan gaya ekspresionistik yang kasar, spontan, dan penuh energi: goresan cat yang tebal, tekstur yang hampir kasar, serta warna-warna kontras menjadi penekanan simbol agresi dan nafsu.
Dua kepala ‘asu’ (anjing) yang saling mengarah ke kiri dan kanan menyiratkan konflik internal: satu tubuh, namun banyak mulut, banyak arah, dan tak ada kesatuan visi.
Berpakaian rapi layaknya pejabat, tetapi kepala hewan buas menyingkap wajah asli politik penuh intrik.
Tongkat di tangan kiri adalah simbol kekuasaan, tapi dalam genggaman seekor serigala ia lebih menyerupai alat untuk menundukkan lawan.
Lukisan ini tidak sekadar kritik, tetapi refleksi atas realitas: perebutan kekuasaan politik yang penuh intrik, fitnah, dan saling menjatuhkan.
Asu Kabeh – Kabeh Asu saling memaki/memfitnah alias “Asu-asuan” menjadi metafora keras, bahwa politik hari ini sering kehilangan nilai kemanusiaan, berganti dengan naluri kebinatangan yang saling memangsa.
Sengkuni hadir tidak hanya sebagai karakter wayang, tapi sebagai simbol universal tentang “toxic politics” (racun politik): licik, penuh tipu daya, dan tidak segan membunuh karakter lawan dengan narasi jahat alias hoaks.
Dalam konteks Indonesia hari ini, karya ini berfungsi sebagai cermin kritis: politik bukan lagi arena gagasan, melainkan gelanggang pertarungan yang brutal.
Dengan teknik ekspresif dan simbolis, karya ini tidak hanya menyuguhkan kritik sosial, tetapi juga membangkitkan kesadaran penonton untuk mempertanyakan: apakah politik memang selalu harus “saling gonggong dan saling sikut”?
Mungkin jika S Sudjojono masih hidup akan berkomentar bahwa lukisan ini memiliki jiwa “kethok” alias wujud nyata dari keberadaan jiwanya Sri Krishna Encik.
Sengkuni adalah diksi yang sangat tepat. Selamat, Mas Sri Krishna Encik.
Cen Asu!