Fusilatnews – Di negeri ini, minyak selalu lebih kental daripada akal sehat. Pemerintah baru-baru ini membatasi impor bahan bakar tidak bersubsidi dengan alasan efisiensi dan pengendalian pasar. Kesan yang ingin ditanamkan sederhana: negara menjaga stabilitas energi. Tapi, di balik layar, kebijakan ini justru membuka jalan bagi satu aktor untuk menjadi raksasa tanpa tandingan: Pertamina.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah memberi peringatan. Dominasi Pertamina bisa menimbulkan praktik pasar yang tidak adil, menghilangkan opsi konsumen, dan pada akhirnya menekan harga ke atas. Ironi: di saat rakyat dijejali retorika “subsidi tepat sasaran” dan “efisiensi fiskal,” ruang kompetisi justru dipersempit.
Lihatlah kontradiksinya. Pemerintah mengaku memuja mekanisme pasar, tetapi ketika kepentingan BUMN energi bersinggungan, hukum pasar segera dipasung. Argumennya klise: kedaulatan energi. Padahal, yang terlindungi bukanlah rakyat—melainkan rente dan monopoli. Inilah wajah kapitalisme negara ala Indonesia: campuran antara proteksi oligarki dan kosmetika nasionalisme.
Dalam logika sehat, bahan bakar non-subsidi seharusnya bebas diimpor oleh siapa saja yang sanggup memenuhi standar dan membayar bea masuk. Konsumen kelas menengah-atas—yang tidak berhak atas subsidi—mestinya diberi pilihan. Namun, dengan pembatasan ini, mereka hanya punya satu pintu: Pertamina. Monopoli yang dibungkus bendera merah putih.
Kebijakan ini juga menyingkap kecenderungan lama: negara selalu mendudukkan diri sebagai pedagang, bukan wasit. Ia lebih nyaman menjadi pelaku yang bersekutu dengan perusahaan pelat merah ketimbang menjamin fairness dalam pasar. Hasilnya bisa ditebak: kartelisasi yang dilegalkan, di bawah retorika nasionalisme.
Pertanyaan akhirnya bukan lagi soal impor BBM semata. Tapi tentang hakikat negara. Apakah ia pelindung kepentingan publik, atau sekadar broker bagi kongsi energi? Dalam dunia di mana bensin lebih mudah ditemukan ketimbang keadilan, kita tahu jawabannya.