Oleh: Entang Sastraatmadja
Kabar bahwa 300 ribu ton beras di gudang Perum Bulog terancam turun mutu mendadak mencuat menjadi isu nasional. Persoalan ini bukan sekadar teknis penyimpanan, melainkan menyangkut ketahanan pangan dan kerugian negara hingga triliunan rupiah.
Banyak pihak menuding, masalah ini berakar pada tata kelola penyimpanan gabah dan beras yang buruk, serta manajemen yang jauh dari profesional. Ombudsman RI sendiri mengungkapkan, jika 300 ribu ton beras itu benar-benar rusak dan menjadi disposal, potensi kerugian mencapai Rp4 triliun.
Fakta di Gudang Bulog
Per April 2025, Bulog memiliki stok beras sebesar 2,34 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 436 ribu ton (18,6%) sudah berusia 7–12 bulan, dan hampir 55 ribu ton (2,3%) bahkan lebih dari setahun. Padahal, idealnya beras hanya disimpan 4 bulan agar mutu tetap terjaga.
Kondisi ini menunjukkan bahwa stok menumpuk terlalu lama di gudang. Penyebabnya berlapis:
- Penyimpanan yang terlalu lama — akibat distribusi yang tersendat.
- Kapasitas gudang terbatas — ditambah mesin pengering yang tidak memadai.
- Penyaluran yang tersendat — penghentian bantuan pangan beras dan program SPHP (Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan) membuat stok tidak bergerak.
Respons Pemerintah
Menghadapi persoalan ini, pemerintah mengambil sejumlah langkah, meski sebagian dianggap tambal sulam:
- Penyesuaian harga: meminta penggilingan menurunkan harga sesuai mutu, bukan menarik pasokan dari pasar.
- Pengawasan mutu: melalui Peraturan Badan Pangan Nasional No. 2/2023.
- Penataan distribusi: mendorong pedagang menyesuaikan harga dengan mutu, serta mencegah beredarnya beras oplosan.
- Pengawasan & sanksi: menindak pelaku kecurangan, dengan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
Selain itu, Ombudsman menegaskan perlunya perbaikan tata kelola cadangan beras pemerintah: mulai dari penetapan jumlah, aturan teknis indikator impor, hingga pengawasan distribusi agar tidak berulang.
Menjadi Alarm Pangan Nasional
Masalah ini tidak boleh dianggap biasa. Jika negara lengah, beras—sebagai makanan pokok rakyat—bisa berubah dari penyangga stabilitas menjadi sumber kegaduhan politik dan sosial.
Persoalan ini harus menjadi renungan sekaligus peringatan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal jumlah stok, tetapi juga soal tata kelola yang transparan, profesional, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)