Fusilatnews – Kebijakan Purbaya yang memasukkan Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke sistem perbankan menandai intervensi besar dalam arsitektur moneter Indonesia. Di permukaan, langkah ini terlihat sederhana: menambah likuiditas agar suku bunga turun dan sektor riil mendapat napas baru. Namun, jika ditelisik lebih dalam, kebijakan ini sarat dengan konsekuensi, baik positif maupun negatif, yang mencerminkan dilema klasik antara dorongan pertumbuhan ekonomi dan risiko stabilitas makro.
1. Rasional Ekonomi: Menekan Suku Bunga Melalui Likuiditas
Dana Rp200 triliun yang masuk ke perbankan menciptakan excess liquidity. Bank yang semula bersaing ketat menghimpun dana deposito tidak lagi memiliki alasan menaikkan bunga simpanan. Biaya dana (cost of fund) turun, memberi ruang bagi bank untuk menurunkan bunga kredit.
- Efek langsung: suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) turun.
- Efek lanjutan: yield obligasi pemerintah jangka pendek terkoreksi, menekan struktur bunga jangka panjang.
- Tujuan akhir: investasi dan konsumsi terstimulasi karena biaya pinjaman lebih murah.
Secara teori moneter, inilah jalur transmisi likuiditas ke suku bunga, dan dari suku bunga ke pertumbuhan.
2. Dimensi Transmisi Moneter: Masalah Lama yang Diulang
Indonesia punya catatan buruk dalam transmisi suku bunga. Meski BI Rate turun, perbankan enggan menurunkan bunga kredit karena faktor risiko tinggi (NPL, kepastian hukum lemah, sektor riil stagnan). Dengan Rp200 triliun dana segar, pemerintah berharap memaksa bank “melunak.”
Namun, ada pertanyaan mendasar: apakah dunia usaha siap menyerap kredit? Bila iklim investasi belum pulih, penurunan bunga hanya akan mengendap sebagai dana menganggur di bank atau dialihkan ke obligasi pemerintah. Artinya, kebijakan bisa macet di tengah jalan.
3. Risiko Inflasi dan Nilai Tukar
Pelepasan dana besar ke pasar membawa implikasi serius:
- Inflasi: jika kredit yang tumbuh lebih banyak diarahkan ke konsumsi ketimbang produksi, tekanan harga akan meningkat.
- Nilai tukar: investor asing bisa menafsirkan kebijakan ini sebagai sinyal moneter longgar → risiko capital outflow dan pelemahan rupiah.
- Moral hazard: bank bisa lebih longgar dalam mengelola risiko karena merasa dilindungi negara, menciptakan distorsi jangka panjang.
4. Perspektif Politik-Ekonomi: Menyelamatkan atau Menjaga Citra?
Kebijakan Purbaya tidak bisa dilepaskan dari konteks politik. Di akhir masa pemerintahan Jokowi, kondisi ekonomi menghadapi tekanan: pertumbuhan tersendat, utang menumpuk, daya beli melemah. Suntikan Rp200 triliun bisa dibaca sebagai upaya stabilisasi jangka pendek, bahkan kosmetik, untuk menunjukkan bahwa pemerintah masih mampu mengendalikan perekonomian.
Dengan menurunkan suku bunga, pemerintah seolah ingin menampilkan optimisme menjelang siklus politik baru. Tetapi di balik itu, terselip risiko: ekonomi ditopang oleh instrumen darurat, bukan kekuatan fundamental.
5. Kontradiksi Struktural
Kebijakan ini mencerminkan kontradiksi besar ekonomi Indonesia:
- Indonesia dulunya pusat rempah dunia, kini ironisnya masih mengimpor garam, beras, jagung.
- Sektor riil melemah, tapi stimulus ditembakkan lewat jalur keuangan.
- Negara sibuk menopang perbankan, sementara fondasi produksi pangan dan industri domestik rapuh.
Alih-alih memperkuat basis produktif, kebijakan Rp200 triliun justru berpotensi mempertebal dominasi sektor finansial yang spekulatif.
6. Penutup: Strategi Berisiko Tinggi
Suntikan Rp200 triliun dari BI ke perbankan adalah strategi berisiko tinggi dengan hasil yang sangat bergantung pada kepercayaan dunia usaha. Bila kondisi politik dan iklim investasi tidak membaik, kebijakan ini hanya akan menambah likuiditas tanpa arah, sekadar menurunkan suku bunga di atas kertas.
Purbaya tampaknya memilih jalan cepat untuk menurunkan suku bunga, tetapi mengabaikan persoalan struktural: lemahnya produktivitas, birokrasi yang koruptif, dan ketidakpastian hukum. Pada akhirnya, kebijakan ini bisa dilihat bukan sebagai solusi jangka panjang, melainkan obat bius sementara bagi ekonomi yang sakit kronis.