Oleh: Entang Sastraatmadja
Tahun 2025 digadang-gadang sebagai kebangkitan kembali sektor pertanian, khususnya dunia perberasan. Menteri Pertanian Amran Sulaiman bahkan memastikan dalam tiga bulan ke depan, bila tidak ada aral melintang, Pemerintahan Prabowo akan kembali memproklamasikan swasembada beras. Sebuah capaian yang layak mendapat acungan jempol.
Setelah sempat terpuruk di tahun-tahun sebelumnya, produksi beras nasional kini meningkat signifikan. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memproyeksikan Indonesia mampu menembus angka 34,6 juta ton—lonjakan fantastis dibanding 2024 yang hanya sekitar 30,4 juta ton. Kala itu, fenomena El Nino memukul produksi hingga melahirkan “darurat beras” yang memaksa pemerintah mengimpor sekitar 4,5 juta ton. Tak heran, 2024 dikenang sebagai “tahun kelabu” perberasan nasional.
Situasi itu berubah drastis di awal pemerintahan baru. Dengan tekad politik yang kuat, kerja keras dan terobosan kebijakan, Indonesia kini kembali menegaskan diri sebagai produsen beras terbesar di ASEAN. Cadangan beras pemerintah pun kian kokoh, menembus hampir 4 juta ton berkat penyerapan Bulog.
Namun, pertanyaan yang tak kalah penting: apakah lonjakan produksi ini benar-benar mengangkat kesejahteraan petani?
Banyak pihak meragukan. Sebab, kesejahteraan petani tidak ditentukan semata oleh tingginya produksi, melainkan juga oleh harga jual gabah, akses pasar, hingga biaya produksi. Sadar akan problem klasik itu, Presiden Prabowo mengambil langkah berani: Bulog diwajibkan menyerap gabah dengan kualitas apa pun (any quality) pada harga minimal Rp6.500 per kilogram. Bahkan, penggilingan yang nekat membeli di bawah harga tersebut diancam pencabutan izin.
Kebijakan ini tentu memberi angin segar. Selama panen raya terakhir, keluhan petani soal harga anjlok nyaris tak terdengar—sesuatu yang selama ini selalu menjadi penyakit tahunan.
Meski demikian, masih perlu pembuktian lebih akurat: apakah harga jaminan tersebut cukup untuk menutup ongkos produksi dan benar-benar mendongkrak Nilai Tukar Petani (NTP)? Data BPS yang akan datang akan menjadi ujian nyata apakah swasembada beras kali ini bukan sekadar prestasi angka, melainkan juga tonggak kesejahteraan petani di negeri agraris ini.
(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)