Jakarta-Fusilatnews – Jumlah korban akibat rangkaian banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Senin (1/12/2025), mencapai 442 orang tewas, dan 402 orang hilang. Penyebabnya? Apa lagi kalau bukan hutan gundul.
Padahal, 12 tahun lalu Harrison Ford, aktor kawakan asal Amerika, sudah memperingatkan Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan RI 2009-2014, bahwa hutan di Indonesia 80℅-nya sudah dieksploitasi untuk kepentingan komersial seperti tambang dan kebun kelapa sawit. Hutan yang sehat tinggal 18℅.
Namun, saat itu Zulkifli hanya tertawa kecil sambil menyampaikan permakluman bahwa Indonesia baru memulai demokrasi dan reformasi, berbeda dengan Amerika.
Mungkin yang dimaksud Zulkifli, angin demokrasi dan reformasi itulah yang membuat rakyat negeri ini bereforia dan bisa melakukan apa saja, termasuk membabat hutan sembarangan.
Sampai kemudian jabatan Menhut beralih ke Siti Nurbaya Bakar dan kini Raja Juli Antoni, kerusakan hutan Indonesia yang mencapai 80℅ itu tak kunjung teratasi. Akibatnya, bencana banjir bandang dan tanah longsor melanda.
Kini, Zulkifli yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu masih bercokol di pemerintahan sebagai Menteri Koordinator Bidang Pangan di Kabinet Merah Putih (KMP).
Ada pula seorang menteri lain yang menyampaikan pengakuan bersalah karena semasa menjadi pengusaha tambang dirinya kerap membabat hutan. Ketika kemudian ditunjuk menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), baik di era Joko Widodo maupun kini di era Prabowo Subianto, dirinya pun mensyaratkan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebelum membuka tambang. Dialah Bahlil Lahadalia. Namun, langkah kecil Ketua Umum Partai Golkar itu tak berdampak signifikan. Hutan sudah terlanjur rusak.
Saat banjir bandang terjadi, kayu-kayu gelondongan ikut hanyut. Itulah bukti bahwa di hutan Sumatera masih terjadi penebangan liar secara masif.
Alhasil, tawa kecil Zulkifli Hasan dan pengakuan bersalah Bahlil Lahadalia kini telah berbuah atau menjelma menjadi banjir bandang dan tanah longsor yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Kalau sudah begini, lalu siapa yang harus bertanggung jawab?
Ah, seandainya tahun 2013 lalu Zulkifli Hasan bertindak cepat dan Bahlil Lahadalia pun tidak membabati hutan, mungkin banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi di Sumatera itu tak akan separah ini. Sedikitnya 442 orang meregang nyawa, dan 402 orang lainnya hilang entah ke mana. Mungkin mereka tertimbun tanah longsor. Ada pula yang hanyut terbawa banjir.
Cuma Mencekam di Medsos
Kepala BNPB Suharyanto menyatakan, bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumut dan Sumbar hanya terlihat mencekam di media sosial (medsos), tidak demikian dengan kondisi di lapangan. Sebab itulah, ia menolak menetapkan bencana tersebut sebagai bencana nasional.
Menurut Suharyanto, sejauh ini baru ada dua bencana yang ditetapkan sebagai bencana nasional di Indonesia, yakni tsunami Aceh tahun 2004 dan Covid-19 tahun 2020.
Bagaimana bisa banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi di Sumatera yang telah menelan 442 korban tewas dan 402 korban hilang tak kunjung ditetapkan sebagai bencana nasional?
Lihatlah, sejumlah warga korban bencana di Tapanuli Tengah dan Sibolga sudah melakukan penjarahan di gudang Bulog dan minimarket. Mereka lapar. Mereka dahaga. Mereka tak punya apa-apa.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah pusat punya kewenangan untuk menetapkan status dan tingkatan bencana.
Penetapan status dan tingkat bencana, apakah nasional ataukah daerah, didasarkan atas indikator yang meliputi jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Sejauh ini, BNBP menetapkan status dan tingkatan bencana banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi di Sumatera ini sebagai bencana daerah tingkat provinsi. Padahal sudah lintas provinsi, yakni Aceh, Sumut dan Sumbar.
Penetapan status bencana, apakah bencana nasional ataukah daerah akan berpengaruh pada bagaimana cara penanggulangannya dan berapa besar anggarannya. Di sinilah pentingnya status bencana nasional diterapkan pada bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumut dan Sumbar.
Ironisnya, Kepala BNPB Suharyanto justru menyatakan bencana banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi di Sumatera hanya terlihat mencekam di medsos, tidak demikian dengan kondisi di lapangan.
Pertanyaannya, apakah video-video yang viral di medsos, termasuk yang berisi gambar kayu-kayu gelondongan yang terbawa banjir dan warga yang tertimbun tanah longsor itu cuma rekayasa dari pihak tertentu?
Ironis pula pernyataan Menhut Raja Juli Antoni bahwa kayu-kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang bukan hasil pembalakan liar, melainkan pohon-pohon itu sendiri yang tumbang.
Kalau memang tumbang, mengapa kayu-kayu yang hanyut itu tanpa akar, bahkan terlihat rapi dan sudah terpotong-potong? Raja Juli, jangan bodohi rakyat negeri ini!


























