Oleh: M. Yamin Nasution, S.H.
Di negeri ini, ijazah tidak lagi sekadar dokumen akademik. Ia menjelma menjadi jimat. Ada yang memujanya, ada yang mencurigainya, ada pula yang memperlakukannya seperti benda gaib: disakralkan tanpa verifikasi, dicaci tanpa pembuktian. Maka publik pun seolah diseret ke sebuah aula imajiner, tempat berlangsungnya sebuah seremoni aneh bernama Wisuda Dunia Lain.
Di sana, logika digantung di pintu masuk. Yang berbicara bukan lagi arsip, melainkan bisikan. Yang diperiksa bukan dokumen, melainkan perasaan. Ilmu administrasi kalah oleh ilmu tenung. Dan hukum, seperti makhluk asing, berdiri kikuk di sudut ruangan.
Polemik ijazah yang melibatkan Jokowi dan kelompok Suryo CS lebih mirip ritual perdukunan ketimbang perdebatan akademik. Yang satu terus dipanggil sebagai simbol kegelapan; yang lain menjelma seperti dukun narasi, mengguncang publik dengan sesaji tuduhan tanpa meja pembuktian. Seminar berganti seanse. Verifikasi berubah menjadi visualisasi ketakutan.
Di negeri normal, ijazah diuji dengan metode: arsip, registrasi, otentikasi. Di negeri ini, ia diuji dengan intuisi publik yang sudah lelah dan marah. Bukti dianggap dingin; tafsir dianggap hangat. Yang pertama menuntut kerja sunyi; yang kedua memberi kepuasan instan.
Padahal keanehan sejati bukan pada apakah selembar kertas itu asli atau palsu, melainkan pada cara bangsa ini memutuskan sesuatu: lebih percaya pada gema emosi ketimbang sistem hukum. Kita menyukai kisah seram karena ia sederhana: ada tokoh jahat, ada korban, dan ada kegelapan yang siap dituding. Sementara kenyataan dengan prosedur dan arsip terasa membosankan, padahal di sanalah kebenaran bekerja.
Situasi ini diperparah oleh keterlibatan sejumlah kalangan berlatar belakang akademisi, praktisi hukum, hingga doktor hukum yang justru tampil memperkeruh ruang diskursus. Di sisi lain, inisiatif mediasi yang diajukan Faizal Assegaf dengan pendekatan dialog berlandaskan nilai-nilai Pancasila, tidak memperoleh ruang yang memadai. Alih-alih difasilitasi sebagai ikhtiar penyelesaian, tawaran tersebut justru menuai penolakan, kritik keras, dan berbagai tudingan.
Kelompok-kelompok yang bersuara paling nyaring sering kali lupa: membongkar kebenaran tidak perlu obor, cukup lampu. Dan lampu itu bernama prosedur. Jika ada kecurigaan, bawa ke meja uji, bukan ke altar opini.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Tuduhan berubah menjadi tontonan. Klarifikasi meredup, karena tidak semenarik spekulasi. Kebenaran kalah laku dibanding kengerian.
Maka polemik ijazah hari ini bukan sekadar soal siapa benar dan siapa salah. Ia adalah potret betapa rapuhnya relasi kita dengan nalar hukum. Negara yang hendak beradab mestinya menyelesaikan sengketa di ruang terang, bukan di lorong misteri.
Jika tidak, bangsa ini akan terus mengulang satu upacara aneh: wisuda tanpa kampus, gelar tanpa sidang, dan kebenaran tanpa verifikasi. Kita akan lulus bukan dari universitas, melainkan dari ketidakwarasan kolektif.
Dan kelak, ketika anak-anak kita bertanya bagaimana sebuah republik bisa linglung oleh selembar ijazah, kita hanya bisa menjawab lirih:
“Karena dulu kami para pemimpin dan elite politik, lebih memilih watak culas demi ketenangan semu, daripada membangun bangsa dengan kejujuran dan keberanian.”
























