Dedi Mulyadi memang berbeda. Ia hadir di tengah rakyat, menyapa, membantu, dan menegakkan semangat gotong royong yang nyaris punah. Ia tak segan turun ke jalan, memungut sampah, menyantuni orang miskin, bahkan memikul beban warga dengan tangannya sendiri. Semua itu membuat banyak orang terkesan—dan wajar. Tapi di sisi lain, perilaku semacam itu mengundang satu pertanyaan mendasar:
Apakah itu akhlak seorang Gubernur, atau justru akhlak seorang Bupati?
Dalam kerangka pemerintahan, seorang Bupati atau Wali Kota adalah figur yang paling dekat dengan rakyat. Ia mengurusi hal-hal yang konkret dan langsung bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat: jalan desa rusak, anak putus sekolah, air bersih, sampah, kesehatan dasar, dan bantuan sosial. Dengan kata lain, akhlak Bupati adalah akhlak “mengurus rakyat.”
Ia adalah pelayan publik yang memegang tangan rakyat secara langsung. Ia hidup di tengah warga, menjadi penghubung antara negara dan kebutuhan manusia paling dasar. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan Dedi Mulyadi sangat sesuai dengan akhlak Bupati—dan barangkali, itulah mengapa ia begitu dicintai saat menjabat di Purwakarta.
Namun ketika seseorang bicara di level provinsi, maka cakrawalanya harus melebar. Seorang Gubernur tidak lagi hanya mengurusi rakyat satu per satu, melainkan mengatur sistem agar seluruh rakyat bisa terurus.
Akhlaknya bukan lagi “menyapu halaman” atau “menambal jalan,” tetapi membangun kebijakan makro agar kabupaten dan kota di bawahnya dapat melakukannya dengan baik.
Akhlak Gubernur adalah akhlak mengurus wilayah, bukan akhlak mengurus individu. Ia bekerja melalui perencanaan, regulasi, dan sinkronisasi kebijakan lintas daerah. Ia harus menyeimbangkan kepentingan kota besar dan pelosok desa, menata tata ruang, mengelola anggaran pembangunan, dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Gubernur yang baik tidak harus selalu tampil di depan kamera memeluk rakyat—tapi harus memastikan sistemnya bekerja sehingga rakyat tak perlu dipeluk untuk bisa hidup layak.
Perbandingan dengan Amerika: Mayor vs Governor
Dalam sistem Amerika Serikat, batas ini sangat jelas. Seorang Mayor (setara dengan Bupati/Walikota) adalah eksekutor lapangan. Ia menangani persoalan harian warga kota—mulai dari transportasi, kebersihan, hingga layanan publik dasar. Ia harus hadir, mendengar, dan bertindak cepat. Sementara Governor adalah kepala negara bagian—ia berpikir tentang arah pembangunan, kebijakan fiskal, hubungan antarwilayah, dan peran negara bagian dalam federasi. Ia tidak turun membagi sembako; ia memastikan tidak ada rakyat yang perlu disembaki.
Itulah bedanya sistem yang sehat: peran dibedakan, akhlak kepemimpinan disesuaikan dengan tanggung jawabnya.
Kritik untuk Dedi Mulyadi
Ketika Dedi Mulyadi berperilaku seperti Bupati padahal bermain di panggung provinsi, sesungguhnya ia terjebak dalam politik keramahtamahan yang populis. Ia menampilkan wajah kemanusiaan yang indah, tetapi tidak sedang berbicara dalam bahasa sistem. Padahal, provinsi tidak bisa diurus dengan empati semata; ia butuh strategi pembangunan, tata ruang yang berpihak, dan integrasi antarwilayah.
Menjadi Gubernur berarti naik satu level kesadaran: dari “mengurus rakyat” menuju “mengurus tatanan yang mengurusi rakyat.” Jika Dedi tidak beranjak dari gaya lama, maka yang ia lakukan bukan kepemimpinan strategis, melainkan nostalgia administratif—romantisme seorang Bupati yang gagal naik kelas.
Dan di sinilah tantangan terbesar para pemimpin daerah di Indonesia: mereka lebih suka dilihat peduli, daripada benar-benar mengubah sistem agar kepedulian itu tidak perlu lagi ditunjukkan.
























