Fusilatnews – Hujan tidak datang seperti tamu. Ia datang seperti palu, jatuh berulang, tanpa jeda, membentuk arus yang tak lagi bisa dipetakan sebagai “banjir biasa”. Di pegunungan Sumatra, air menyatu dengan tanah yang kehilangan daya cengkeram, meluncur menjadi banjir bandang yang dikawal longsor — dua kembar petaka yang bergerak serentak: menghapus jalan pulang, bahkan menghapus nama di daftar keluarga.
BNPB merilis angka paling getir: 442 orang meninggal, 402 lainnya masih hilang — belum ditemukan, belum tersentuh, belum membawa kabar. Jumlah ini belum bicara soal ruang isolasi desa-desa hulu yang tersobek dari peta bantuan, dari peta logistik, kadang bahkan dari peta perhatian publik.
Tiga Wilayah, Satu Luka
- Sumatra Utara: 217 tewas, 209 hilang
- Sumatra Barat: 129 tewas, 118 hilang
- Aceh: 96 tewas, 75 hilang
Di balik angka, ada ironi yang lebih deras dari air itu sendiri: bencana terjadi justru di wilayah yang dulu disebut paru-paru ekosistem.
Hulu yang Dulu Hijau, Kini Rapuh
Penyebabnya tidak berdiri pada satu kaki. Ia tumbuh dari sejarah panjang yang jarang ditulis sebagai berita harian, tapi selalu meledak sebagai headline kematian:
- Curah hujan ekstrem berkepanjangan — intensitas yang tak pernah sempat diserap tanah.
- Topografi lereng curam dan aliran sungai berhulu tajam, membuat air turun tanpa kompromi.
- Hutan yang menyusut sebagai pelaku utama tanpa nama — ditebang oleh ekspansi lahan, industri ekstraktif, dan tata kelola ruang yang lebih sering berpihak pada izin, bukan pada risiko.
Ketika sungai menerima air tanpa hutan sebagai penahan, maka lembah dan pemukiman hanya menjadi terminal terakhir sebelum tragedi.
Evakuasi di Medan yang Terputus
Tim SAR menghadapi situasi yang bukan hanya sulit, tapi berubah setiap jam. Longsor baru terus lahir, jembatan putus memendekkan harapan, sementara lumpur dan gelondongan kayu menutup jejak korban yang tersisa.
Di beberapa desa, warga turun mencari sendiri — bukan karena mereka lebih berani dari SAR, tetapi karena banyak yang merasa negara datang setelah jasad lebih dulu diam.
Bencana Lain yang Tak Tercatat
Selain yang mati dan hilang, ada korban lain yang tidak masuk statistik:
- Tanah pertanian rusak, ternak hanyut, rumah terkubur
- Anak-anak tumbuh dengan memori suara air yang gemuruh, bukan dengan memori rasa aman
- Keluarga mengungsi bukan dengan tas, tapi dengan nama yang berkurang
Di banyak posko, duka tidak menangis keras. Ia duduk. Diam. Karena kehilangan yang paling besar adalah yang tidak sempat berpamitan.
Seruan Perubahan: Jangan Bangun di Atas Hulu yang Sudah Hancur
Bencana 2025 harus dibaca sebagai tonggak: bahwa iklim bisa ekstrem, tapi dampak 10 kali lipat ekstrem karena lingkungan sudah dikhianati.
Mitigasi yang mendesak bukan lagi soal respon darurat, melainkan respon kebijakan:
- Reboisasi dan perlindungan hulu sungai
- ** revisi tata ruang berbasis risiko**
- ** moratorium alih fungsi hutan di wilayah rawan**
- ** peringatan dini yang benar-benar dini, bukan catatan setelah fakta kematian**
Karena pelajaran paling keras dari tragedi ini sederhana:
“Bukan banjir yang membunuh, tapi hulu yang kehilangan daya lindungnya.”
Penyebabnya? Bukan Hanya Hujan — Tapi Riwayat Panjang Pengkhianatan pada Ekosistem
Riset klimatologi, kesaksian warga, dan pola kejadian mengungkap satu hal:
Bencana ini terjadi karena tiga lapis faktor yang bertumpuk seperti kartu domino:
Hujan ekstrem berkepanjangan, yang membuat tanah jenuh air dan sungai menerima debit jauh melebihi daya tampung normal.
Topografi pegunungan dan sungai berhulu curam, yang mempercepat aliran air dari ketinggian, menciptakan gelombang air dadakan yang menjadi definisi banjir bandang itu sendiri.
Hutan di banyak wilayah hulu telah kehilangan fungsinya, bukan karena ia menyerah, tapi karena ia dihilangkan. Alih fungsi lahan, minimnya area resapan, dan vegetasi yang menipis membuat air tak lagi punya “rem darurat”.
Dengan daya serap hilang, air hanya mengenal satu kata kerja: turun, menerjang, menghanyutkan.
Para pakar menyebutnya sederhana: “Ini bukan sekadar bencana alam. Ini akumulasi kerentanan ekologis.”
Bahasa lapangannya lebih lugas: airnya besar, hutannya kecil, tragedinya raksasa.
Medan Evakuasi: Labirin yang Menyulitkan, Memisahkan Hidup dan Mati
Tim SAR gabungan berhadapan dengan tantangan yang tidak bisa ditaklukkan dengan keberanian saja:
Jembatan dan jalan penghubung putus, membuat logistik dan personel harus memutar lewat rute berisiko tinggi.
Titik longsor baru masih bermunculan, sehingga pencarian korban sering terhenti demi keselamatan tim.
Material lumpur dan kayu gelondongan menutup sungai dan permukiman, mengubah peta pencarian menjadi teka-teki baru setiap hari.
Alat berat sulit masuk, sementara pencarian manual seperti mengorek jarum di tumpukan reruntuhan raksasa.
Di beberapa desa, warga bahkan lebih dulu melakukan pencarian sebelum bantuan datang — bukan karena mereka tak sabar, tetapi karena mereka merasa harapan terakhir sudah ada di tangan mereka sendiri.
Dampak Sosial: Ketika Korban Hilang, Yang Tersisa Adalah Negeri yang Trauma
Selain korban jiwa dan orang hilang, ada korban lain yang tidak masuk daftar:
Ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal
Sumber penghidupan lenyap di sektor pertanian, ternak, dan perdagangan lokal
Trauma generasi, terutama bagi anak-anak yang menyaksikan bencana datang seperti adegan yang tak seharusnya mereka lihat
Bencana tidak hanya memindahkan air — ia memindahkan keluarga ke posko, senyum ke wajah kosong, dan masa depan ke ruang tanya.
Masa Depan yang Dituntut Sekarang
Tragedi ini bukan bab penutup — ini bab peringatan.
Mitigasi tidak lagi bisa jadi rencana di kertas, ia harus jadi rencana di lereng, sungai, dan kebijakan:
Rehabilitasi hutan di hulu sungai dan lereng
Penataan ulang tata ruang berbasis risiko, bukan ekonomi semata
Penghentian pembangunan pemukiman di zona merah tanpa sistem perlindungan
Edukasi kebencanaan dari sekolah hingga desa
Sistem peringatan dini yang benar-benar memotong jeda antara hujan dan peringatan
Alam sudah memberi sinyal berkali-kali. 2025 memberi jawaban paling keras:
Jika hutan tak memeluk air, air akan menampar manusia.


























