Fusilatnews – Pergantian pucuk pimpinan di Kementerian Keuangan selalu menjadi momen penting bagi arah kebijakan ekonomi negara. Jika seorang Menteri Keuangan baru datang hanya untuk melanjutkan tradisi tanpa memperbaiki kelemahan pendahulunya, maka ia sesungguhnya telah gagal sejak awal. Dan bila kegagalan itu terjadi setelah Sri Mulyani yang begitu lama duduk di kursi Menkeu, maka penggantinya layak dicap sebagai Menkeu yang sehina-hinanya. Mengapa demikian?
Pertama, Membaca Data Kelemahan Sri Mulyani
Sri Mulyani dikenal sebagai teknokrat dengan reputasi internasional. Namun, rekam jejaknya di Indonesia tidak lepas dari kritik. Di balik kepiawaian mengelola APBN, masih tampak jelas kelemahan struktural yang dibiarkan. Rasio pajak (tax ratio) yang stagnan, ketergantungan pada utang luar negeri, lemahnya penyerapan anggaran pada sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan, hingga ketidakmampuan menahan defisit yang terus melebar—semua ini adalah data terbuka yang bisa dibaca siapa saja. Seorang Menkeu baru tidak boleh mengulang kelemahan itu. Bila ia tidak bisa membedah di mana letak kegagalan Sri Mulyani, maka ia tidak lebih dari seorang penjaga kursi, bukan pemimpin.
Kedua, Apa yang Ingin Dicapai Sudah Jelas
Indonesia membutuhkan Menkeu yang berani menentukan arah: meningkatkan penerimaan dalam negeri, memperkuat basis industri, mengurangi ketergantungan impor, dan menata belanja negara agar lebih produktif. Visi itu bukan rahasia. Semua sudah jelas—tinggal bagaimana seorang Menkeu baru mampu mengeksekusinya. Jika hanya menjadi penonton kebijakan Presiden, tanpa keberanian menegur dan memberi alternatif, maka kursi Menkeu kehilangan makna strategisnya.
Ketiga, Kurang Dukungan Apa Lagi?
Kementerian Keuangan adalah institusi paling kuat kedua setelah Istana. Ia memiliki data, instrumen, hingga kewenangan untuk mengatur denyut nadi perekonomian. Dukungan politik? Ada. Infrastruktur birokrasi? Lengkap. Legitimasi hukum? Penuh. Jadi, apa lagi yang kurang? Menkeu baru tidak boleh berlindung di balik alasan klasik “situasi sulit” atau “beban global”. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian dan integritas untuk membenahi sistem agar tidak terus-menerus menjerat bangsa pada lingkaran utang, kemiskinan, dan ketimpangan.
Penutup
Maka, bila seorang Menkeu baru masih kalah dibandingkan Sri Mulyani—padahal kelemahan Sri Mulyani begitu gamblang, arah tujuan sudah terang benderang, dan dukungan institusional begitu lengkap—ia pantas disebut sebagai Menkeu yang sehina-hinanya. Karena itu berarti ia gagal bukan karena keadaan, melainkan karena kelemahan dirinya sendiri: takut mengambil risiko, malas berpikir strategis, dan rela menjadikan kursi Menkeu hanya sebagai simbol, bukan sebagai alat perubahan.
Apakah Anda ingin saya tambahkan analisis lebih tajam tentang kelemahan spesifik Sri Mulyani (misalnya utang, pajak, subsidi energi, atau ketimpangan APBN) agar esai ini lebih kuat secara data?