Fusilatnews – Ketika Ketua KPU menerbitkan SK yang melarang akses terhadap 16 dokumen calon presiden, publik sontak gaduh. Media sosial penuh protes, ada yang menyebutnya absurd, bahkan sinis sampai ke level “nepalkan nepalkan”—ungkapan kekesalan terhadap tindakan kelembagaan yang seharusnya menjaga integritas demokrasi, bukan merusaknya. Dan benar saja, pada 16 September SK itu dicabut. Pertanyaan mendasar pun muncul: apa sebenarnya yang terjadi di tubuh KPU?
Apakah ini sekadar kebingungan birokratis? Ataukah kesengajaan untuk menabrak aturan demi menutupi seseorang?
Seorang profesor hukum, Juanda, menegaskan: dari segi bentuk, keputusan KPU ini sudah cacat. Substansi yang bersifat pengaturan tidak boleh dilahirkan melalui keputusan sepihak ketua lembaga. Dalam sistem hukum kita, hierarki regulasi jelas: dari UUD, undang-undang, hingga peraturan teknis. KPU tidak boleh mengakali aturan, apalagi menabraknya. Tapi apa yang mereka lakukan justru menunjukkan ketidakcermatan, ketidakpahaman, bahkan kecerobohan fatal.
KPU tampak tidak belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya. Ingat bagaimana mereka sempat membuat tafsir ngawur soal 30% keterwakilan perempuan, membulatkan pecahan seolah sedang menghitung diskon di pasar malam? Ingat pula bagaimana mereka melaksanakan proses pencalonan pasca putusan Mahkamah Konstitusi tanpa merevisi PKPU terlebih dahulu? Pola yang sama muncul lagi: kebijakan dibuat asal-asalan, lalu dicabut setelah publik ramai-ramai menampar akal sehat mereka.
Kita pantas bertanya: bagaimana mungkin lembaga penyelenggara pemilu, yang memegang mandat konstitusional sebesar itu, beroperasi dengan kualitas pengambilan keputusan seburuk ini?
Tindakan KPU tidak hanya soal “teknis” hukum, tapi menyangkut hak asasi manusia, hak publik untuk mengakses informasi yang memang seharusnya terbuka. Justru KPU berusaha menutupinya dengan dalih kerahasiaan yang tidak berdasar. Jika bukan karena tekanan publik di media sosial, aturan cacat ini bisa saja tetap berjalan, menggerogoti keadilan pemilu dari dalam.
Maka, solusinya tidak bisa lagi sekadar pencabutan SK. Ini bukan “kesalahan kecil” yang bisa ditutup dengan permintaan maaf. Ini soal akumulasi ketidakbecusan, ketidakcermatan, dan potensi penyalahgunaan kewenangan. DPR sebagai pengawas harus memanggil KPU, bukan hanya untuk klarifikasi, tapi untuk mempertimbangkan rekomendasi pemberhentian. Evaluasi total adalah harga mati. Bukan hanya ketuanya yang harus dimintai pertanggungjawaban, tetapi seluruh jajaran komisioner yang sudah gagal menjaga standar profesionalitas.
KPU, alih-alih menjadi penjaga demokrasi, justru berkali-kali tampil sebagai pengacau logika hukum. Mereka membungkus kekeliruan dengan dalih regulasi, padahal yang terlihat hanyalah kebingungan, bahkan mungkin kepentingan tersembunyi.
Jika lembaga setingkat KPU saja sudah kehilangan nalar hukum dan akal sehat politik, bagaimana rakyat bisa percaya bahwa pemilu akan berlangsung jujur, adil, dan bermartabat?
Demokrasi tidak bisa dibiarkan dikelola oleh tangan-tangan yang ceroboh, apalagi yang penuh manipulasi.