Fusilatnews – Ferry Irwandi tidak pernah mengangkat senjata, apalagi menyerang kedaulatan negara. Ia hanyalah seorang konten kreator, CEO Malaka Project, yang menyuarakan pendapat di ruang digital. Namun, belakangan namanya terseret dalam pusaran kontroversi setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) berniat mempidanakan dirinya.
Rencana itu mencuat usai pernyataan Komandan Satuan Siber TNI, Brigjen Juinta Omboh Sembiring, pada Senin (8/9/2025). Sejumlah jenderal bahkan melakukan konsultasi hukum dengan Polda Metro Jaya terkait dugaan tindak pidana yang dituding dilakukan Ferry.
Langkah tersebut sontak menuai sorotan. Bukan hanya karena menyasar seorang kreator konten, tetapi juga karena dinilai melampaui kewenangan militer.
Tugas Militer yang Menyimpang
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengingatkan bahwa TNI tidak memiliki otoritas untuk mempidanakan warga sipil. “Harusnya enggak boleh. TNI itu bagian dari negara, berkewajiban mensejahterakan kehidupan rakyat, termasuk membangun demokrasi yang sehat,” katanya kepada Kompas.com (9/9/2025).
Fickar menekankan, tugas pokok TNI jelas: menjaga pertahanan dari ancaman luar negeri. Sementara urusan hukum sipil adalah ranah kepolisian dan lembaga peradilan. Ketika TNI masuk ke wilayah sipil, itu bukan hanya salah tafsir tugas, melainkan juga menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya militerisasi ala Orde Baru.
“Patroli siber TNI bukan untuk mengawasi masyarakat. Itu penafsiran tugas yang keliru. Dia sudah kelewatan memahami tugasnya sebagai militer,” ujarnya.
Demokrasi yang Diuji
Demokrasi berdiri di atas kebebasan berpendapat. Negara berkewajiban melindungi suara rakyat, bukan membungkamnya. Fickar mengingatkan, selama kritik masih ditujukan pada kebijakan negara dan tidak menyalahi hukum secara nyata, tindakan represif tidak bisa dibenarkan.
Namun manuver TNI dalam kasus Ferry justru menimbulkan pertanyaan: apakah rakyat kini kembali harus takut bersuara?
Jawaban Ferry
Di tengah tekanan, Ferry memilih untuk tidak gentar. Melalui akun Instagram @irwandiferry, ia menulis: “Saya siap menghadapi semuanya, tenang saja, saya tidak pernah dididik jadi pengecut atau penakut.”
Pernyataan itu sederhana, tapi sarat makna. Ia menegaskan dirinya bukan musuh negara, apalagi musuh TNI. Ia hanya warga negara yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk berbicara.
Bayang-Bayang Orde Baru
Lebih dari dua dekade reformasi, publik masih menyimpan trauma masa lalu: ketika kritik dianggap ancaman dan militer begitu dominan dalam urusan sipil. Kasus Ferry mengingatkan kembali pada bayang-bayang itu.
Jika TNI benar-benar memandang seorang konten kreator sebagai lawan, maka demokrasi kita sedang diuji. Karena sejatinya, Ferry Irwandi bukan musuh TNI. Ia adalah bagian dari rakyat—dan rakyatlah yang semestinya dilindungi oleh tentara bangsanya.