Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Entah apa yang berkecamuk dalam benak Presiden Prabowo Subianto, sehingga per 1 Januari 2025 Indonesia bergabung dengan BRICS. Apakah bersama China dan Rusia mau melawan Amerika Serikat (AS)? Sebab, Indonesia sendiri tak berani melawan AS.
Dalam perundingan soal tarif resiprokal, misalnya, Indonesia selalu kalah melawan AS. Negeri Paman Sam itu tetap menerapkan tarif bea masuk bagi Indonesia sebesar 32%. Padahal Indonesia sudah bertekuk lutut sambil memohon-mohon agar tarif diturunkan.
Kompensasinya: Indonesia akan lebih banyak mengimpor produk dari AS. Komoditas yang selama ini diimpor dari negara lain akan dialihkan ke AS. Bahkan asosiasi pengusaha Indonesia pun diminta pemerintahan Prabowo untuk lebih banyak membeli barang dari negeri Donald Trump itu.
Tapi apa lacur? AS bergeming. Presiden Trump tetap memberlakukan tarif bea masuk bagi Indonesia sebesar 32%. Bahkan akan ditambah 10% karena BRICS menentang AS.
Ya, Donald Trump meradang. Presiden AS itu mengancam akan mengenakan tarif tambahan 10% bagi negara-negara yang tergabung dalam BRICS, termasuk Indonesia. Pasalnya, dalam BRICS Summit 2025 di Rio de Janeiro, Brasil, BRICS mengecam pemberlakuan tarif resiprokal oleh Trump, dan juga mengutuk serangan militer AS dan Israel terhadap Iran dan Palestina.
Saat membuka BRICS Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Tahun 2025, Minggu (6/7/2025), Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengatakan BRICS merupakan perwujudan deklarasi Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung.
BRICS, kata Lula, adalah pewaris Gerakan Non-Blok atau Non-Alignment Movement. KAA itu sendiri pertama kali diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat, tahun 1955 di mana Indonesia menjadi tuan rumah sekaligus salah satu negara inisiatornya.
Adapun BRICS sendiri baru berdiri tahun 2001 dengan anggota awal sesuai akronim namanya, yakni Brasil, Rusia, India dan China kemudian ditambah South Africa atau Afrika Selatan. Indonesia baru bergabung ke BRICS pada 1 Januari 2025. Kini ada 13 negara anggota BRICS. Di luar yang sudah disebutkan tadi adalah Mesir, Ethiopia, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Adapun tujuan dibentuknya BRICS, dikutip dari sejumlah sumber, adalah untuk menjunjung tinggi perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan bersama.
BRICS berupaya membantu negara-negara berkembang dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, militer, teknologi, dan hubungan diplomasi antar-negara.
BRICS juga dibentuk dengan tujuan menyusun strategi dalam bidang kerja sama tropikal, mulai dari memerangi perdagangan obat-obatan terlarang, serta penggunaan dan pengembangan teknologi dengan prinsip dan norma yang berlaku secara umum, hingga menciptakan perdagangan yang bebas dari hambatan.
Adapun tujuan utama BRICS adalah kerja sama, pengembangan, dan pengaruh dalam urusan internasional. BRICS berusaha membangun hubungan di antara negara-negara anggota dan bekerja sama dalam ekspansi ekonomi, termasuk perdagangan.
Negara-negara ini bertindak sebagai penyeimbang pengaruh Barat. Mereka berusaha untuk saling bergantung satu sama lain untuk membangun pengaruh yang lebih besar di dunia.
Pun, negara-negara anggota BRICS bertujuan menciptakan sistem ekonomi dan perdagangan baru yang terpisah dari sistem Barat yang dipimpin AS.
Sementara itu, kehadiran Presiden RI Prabowo Subianto dalam BRICS Summit 2025 di Brasil adalah untuk menyuarakan sikap dan posisi Indonesia sebagai ‘bridge-builder’ dalam berbagai isu global dan upaya kolektif di tengah situasi dunia yang semakin tidak menentu.
Secara harfiah, bridge builder berarti pembangun jembatan. Maksudnya, Indonesia akan menjembatani negara-negara lain, terutama anggota BRICS dalam membangun kerja sama bilateral maupun internasional.
Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Lalu, bagaimana dengan tujuan Gerakan Non-Blok (GNB)?
Dikutip dari sejumlah sumber, tujuan utama GNB adalah mendukung hak untuk menentukan nasib sendiri, kemerdekaan nasional, kedaulatan, dan integritas wilayah negara-negara anggota.
GNB juga bertujuan untuk menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, rasisme, dan dominasi asing, serta mendorong perdamaian dunia dan kerja sama internasional berdasarkan persamaan hak.
Presiden Brasil Lula da Silva mengklaim BRICS mewarisi GNB. Benarkah?
Ketika GNB mendukung kemerdekaan Palestina, apakah BRICS juga melakukan hal yang sama? Sejauh ini belum ada negara anggota BRICS yang bersuara selantang Indonesia dan Iran dalam mendukung kemerdekaan Palestina.
Lalu, bagaimana kaitan masuknya Indonesia ke BRICS dengan sistem politik luar negeri bebas aktif yang dianut negeri yang juga merupakan pelopor GNB ini?
Diketahui, negara-negara anggota BRICS akan bertindak sebagai penyeimbang kekuatan Barat yang dipimpin AS.
Selama Perang Dingin, terjadi polarisasi antara Blok Barat yang dipimpin AS dan Blok Timur yang dipimpin Uni Sovyet, kini Rusia. Sementara Indonesia tidak beraliansi dengan Blok Barat maupun Blok Timur. Indonesia justru aktif sebagai pelopor negara-negara GNB.
Kini, pasca-Perang Dingin, apakah BRICS merupakan reinkarnasi dari Blok Timur yang dipimpin Rusia?
Lalu bagaimana dengan politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dianut Indonesia?
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang (UU) No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Indonesia menganut sistem politik luar negeri dengan prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.
Adapun yang dimaksud politik luar negeri bebas aktif adalah politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijakan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada satu kekuatan dunia, serta secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pertanyaannya, apakah aliansi Indonesia dengan BRICS yang salah satunya untuk mengimbangi kekuatan Barat yang dipimpin AS sudah selaras dengan politik luar negeri bebas aktif kita?
Apakah bergabungnya Indonesia dengan BRICS tidak mengikatkan diri secara apriori pada satu kekuatan dunia?
Apakah bargaining position (posisi tawar) Indonesia di depan AS akan meningkat setelah bergabung dengan BRICS?
Faktanya tidak. Juru runding RI yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto selalu kalah menghadapi juru runding AS: Indonesia tetap dikenai tarif 32%. Apa pun yang dilakukan Indonesia tak meluluhkan hati Trump.
Bahkan kini Trump murka setelah BRICS menentang kebijakan tarifnya, dan mengritik serangan AS dan Israel ke Iran dan Palestina. Trump mengancam akan menambah 10% lagi tarif bagi Indonesia.
Pertanyaannya, Indonesia bergabung dengan BRICS akan untung atau buntung?

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)























