Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
1. Latar Belakang: Kontroversi MK dan Konflik Kepentingan
Kontroversi kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden bermula dari Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka jalan bagi dirinya maju di Pilpres meski belum berusia 40 tahun. Putusan ini sarat masalah karena Ketua MK kala itu, Anwar Usman, merupakan paman dari Gibran.
Majelis Kehormatan MK (MKMK) kemudian menjatuhkan Putusan No. 2/MKMK/L/11/2023 yang menyatakan Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat. Hal ini menunjukkan adanya cacat etik sekaligus cacat konstitusional dalam proses hukum yang melahirkan putusan tersebut.
Berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib independen, sementara konflik kepentingan yang nyata membuat putusan itu seharusnya batal demi hukum. Bahkan, UU No. 28 Tahun 1999 menegaskan bahwa nepotisme dapat berujung pada ancaman pidana hingga 12 tahun penjara bagi penyelenggara negara yang terbukti melakukannya.
2. Surat Usulan Pemakzulan Gibran
Pada pertengahan 2025, Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengajukan surat resmi kepada DPR, MPR, dan DPD RI berisi usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran. Mereka mendasarkan argumen pada cacat etik dan cacat hukum proses pencalonan Gibran, serta menilai bahwa pelanggaran ini menodai integritas konstitusi dan moralitas kepemimpinan nasional.
Forum tersebut menegaskan bahwa langkah mereka bukan sekadar provokasi politik, melainkan upaya menjaga marwah hukum dan menegakkan prinsip konstitusional.
3. Respon DPR dan MPR
Surat pemakzulan telah diterima secara resmi oleh DPR dan MPR. Namun, DPR yang awalnya dijadwalkan membacakan surat itu dalam Rapat Paripurna, kemudian membatalkannya. Pimpinan DPR menyatakan surat tersebut masih dalam proses kajian dan pemeriksaan administrasi.
Sementara itu, MPR juga mengonfirmasi telah menerima surat usulan pemakzulan tersebut dan saat ini tengah menunggu telaah dari Sekretariat Jenderal sebelum dibawa ke pembahasan pimpinan.
Secara prosedural, Pasal 7B UUD 1945 mengatur bahwa DPR harus meminta Mahkamah Konstitusi menilai terlebih dahulu apakah Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat. Jika MK memutus terbukti, DPR kemudian membawa hasil tersebut ke MPR untuk diputuskan dalam sidang paripurna.
4. Esensi Perdebatan: Prinsip Hukum vs Realitas Politik
Kelompok pengusul menekankan bahwa meski Prabowo Subianto tetap sah sebagai presiden, posisi Gibran berbeda. Menurut teori mala in se, keikutsertaan Gibran dalam kontestasi politik melalui jalur cacat hukum dan moralitas merupakan tindakan yang tidak bisa ditoleransi.
Putusan MKMK yang autentik sudah cukup untuk menjadi dasar bahwa Gibran seharusnya dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Presiden. Tugas besar kini berada di tangan DPR dan MPR: apakah mereka berani menegakkan rule of law dan konstitusi, atau membiarkan politik dinasti dan kepentingan sesaat kembali mengorbankan marwah hukum di negeri ini.
5. Penutup
Kasus ini akan menjadi ujian besar bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Jika DPR dan MPR gagal menindaklanjuti surat pemakzulan secara konstitusional, maka sejarah akan mencatat bahwa hukum kembali dikalahkan oleh kompromi politik. Namun, bila langkah konstitusional ditempuh dengan tegas, inilah momentum untuk meneguhkan bahwa hukum dan moralitas tetap berdiri di atas segala kepentingan kekuasaan.